Source: www.herbasehatalami.com
Jawaban Sederhana Penuh
Makna ( kisah ikhlas tukang baso berqurban )
Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk
ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh
yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik -
rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini. Di kala
tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk..
.tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka
keringat..., Ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok
bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau Bakso ?
"Mauuuuuuuuu. ..", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku
menjawab. Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ... Ada satu
hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si
tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan
dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam
kencleng.
Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.
"Mang
kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan ? Barangkali ada tujuan ?"
"Iya Pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi
tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya
sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak
Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang
menjadi hak cita - cita penyempurnaan Iman".
"Maksudnya.. .?",
saya melanjutkan bertanya.
"Iya Pak, kan agama dan Tuhan
menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama.
Emang membagi 3,
dengan pembagian sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet,
artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan
keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah,
atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17
tahun menjadi Tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing,
meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke
kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang
yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk
melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus
menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya
Allah selama 17 Tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri
akan melaksanakan Ibadah haji.
Hatiku sangat...sangat tersentuh
mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat
mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan
rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di
balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan
sedikit pertanyaan, sebagai berikut :
"Iya memang bagus...,tapi kan
ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki
kemampuan dalam biaya....".
Ia menjawab,"Itulah sebabnya Pak. Emang
justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena
definisi mampu bukan hak Pak RT atau Pak RW, bukan hak Pak Camat
ataupun MUI. Definisi"mampu"adalah sebuah definisi dimana kita diberi
kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan
diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita
akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan
diri sendiri,"mampu", maka insya Allah dengan segala Kekuasaan dan
kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".
"Masya
Allah...,sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".
Sahabat.... Cerita ini sangat sederhana. Semoga memberi hikmah terbaik
bagi kehidupan Kita. Amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar