Selasa, 05 April 2011

Bidadari yang Patah Hati

“Mbak.. aku sedang diberi ujian spesial.”, adu seseorang padaku.  “Dia harus menikah dengan yang satu suku.”, lanjutnya lagi.
 
Tahukah kau, aku menangis, lebih dari tangisku yang biasa. Kau adalah saudari yang kukemas dalam ruang rindu penuh cerita, yang selalu kupandang dengan mata kaca, bila wajah dan namamu menyapa di beranda. Setidaknya aku tahu kondisi hatimu sejak kita mulai sangat dekat.
 
Terus terang, aku belum mampu membalas pesan inboxmu. Karena aku tahu, seberapa pilu luka itu. Aku sanggup melukis ulang derita hatimu. Aku bisa membuat satu bentuk lara yang kau rasa itu. Persis sama dengan yang terukir kini dalam sejarah kehidupanmu. Kita bisa nyanyikan lagu yang sama, Adinda. Kutemani kau bersenandung.
 
“Ajari aku tentang keikhlasan, mbak.”, dengan kau tambahkan symbol ‘T-T’. Menambahkan sesak di dadaku tanpa ampun.
 
Entah mengapa, saat aku mengalaminya. Aku tak terlalu peduli. Sedih, tapi tak sampai menyedihkan jiwa. Cukup sedih saja. Toh itu sudah cukup sakit kan, Adinda..? Jadi, cukuplah hingga jatuh airmatamu. Kemudian sembuhlah setelah itu. :)
 
Sebenarnya, orang-orang seperti kita, bisa saja mengadukan pada dunia, tentang ketidakadilan yang manusiawi ini. Atau meneriakkan satu hal logis dengan kalimat. “Kalau bebek harus kawin dengan bebek. Kalau ayam, mesti berpasangan dengan ayam. Tapi, manusia bukanlah bebek atau ayam.”, begitu kan, Adinda..?? Mengapa cinta itu harus ditautkan dengan batasan ruang, batasan waktu, atau batasan-batasan yang lainnya. Kesemuanya, tentu kebanyakan berdasarkan kepada kepentingan yang kemarin sempat aku tidak bisa terima, namun kemudian aku menjadi lega dengan kejadian itu.
 
Adinda, nan elok hati serta telah kusaksikan pula cantik rupa. Mendekat kemari. Aku sampaikan satu pesan indah, dari seorang Abi di ruang maya, “Allaah Maha Pencemburu. Dia mencintaimu, lebih dari siapapun yang telah mendahuluimu. Hingga memintamu tuk menunggu, lelaki terbaik yang telah dijanjikan-Nya.” Kalimat yang di tengah rasa legaku, semakin menyejukkan dan menenangkan.
 
Kau lebih tahu, Adinda. Apa saja pesan Allaah, dalam surat cinta-Nya, mengenai masalah ini. Mengenai kesabaran, mengenai keikhlasan, mengenai wanita-wanita shalihah yang tak satupun Allaah kecewakan hatinya. Kau sahabat qur’an sayang. Ialah syifa’, maka oleskan obat peghilang sakit ini. Telan ia dengan sempurna, hingga mengalirlah lancar setiap pembuluh darahmu dengan ‘kepercayaan’ penuh kepada Rabb-mu, Rabb-ku, Rabb kita Adinda.
 
Watak jiwa kita memang lemah Adinda. Jika kita bisa merasa kuat hanya dengan apa yang kita punya. Karakter hati kita, memang goyah Adinda. Bila kita merasa, bisa tangguh dengan sususan tulang kita nan rapuh.
 
Adinda yang Rahmat Allaah semoga tercurah kepadamu, selalu.
 
Biarlah air mata, menjadi pengantar ‘bad day’ itu pergi. Biarlah angin membawa badaimu berlalu jauh. Usah tengok ia ulang. Ia sudah menjadi bagian dari sejarahmu. Meskipun, Allaah sesekali pernah izinkan ‘keajaiban’ mengembalikan kebahagiaan kita. Namun, kau percaya kan, Adinda. Ada satu masa istimewa, di depan sana yang kelak pula mampu melukis senyuman terindah di wajah duniamu. Bukan bahagia itu, yang kemarin kita rasakan. Tapi, yang lainnya, bahagia yang lebih berestetika dan dengan ke-ahsan-an etika. Segenap-genapnya bahagia, tanpa ganjil di dalamnya.
 
Kita mesti bersedia untuk bahagia itu Adinda. Waktu akan temani kita. Maka sebagai temannya, mari kita ‘memelihara’-nya dengan penuh kesungguhan. Jangan ‘bunuh’ ia dengan ‘berleha-leha’ bersama derita, senyum kecut dan wajah tanpa ceria.
 
Ringankan hati, Adinda. Jadikan diri sebagai ‘pesona bidadari’ hingga sang ‘putra langit’ kan jemputmu kelak. Biidznillaah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar