Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui
Penyusun: Ummu Ziyad
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Kondisi fisik seorang wanita
dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun,
pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati
adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan
2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan
konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di
bulan Ramadhan. Ada
yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi
sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik
yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di
bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi
fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui
air susu sang ibu.
Kedua kondisi terakhir,
memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.
1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang
Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang
sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu
dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan
kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang
Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam
keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan
ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang
yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat
membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena
dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara
Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya
akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia
berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’:
6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang
Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu
untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa
akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun
telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan
percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa
berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya
seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat
tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang
perbedaan pendapat tersebut.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu
untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana
kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan
statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan
Syaikh As-Sa’di rahimahumallah
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu
untuk membayar fidyah saja.
Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana
dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu,
“Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka
berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika
ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau
berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya
kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam
Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa
wanita hamil dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi
orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah
(yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang
mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang
dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu
untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana
dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak
berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini
karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu
mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu
pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu,
“Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka
berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh
Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu
ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau
menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang
ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma
yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena
hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat
Ramadhan.
—
Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang
dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal.
Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita
menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang
kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut
melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan
bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan
membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati
tercinta. Wallahu a’alam.
Maraji’:
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008
***
Sumber: Artikel muslimah.or.id
Diakses 20/10/11 jam 11.58wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar