15.
Pertemuan
Aku sampai di masjid
Abu Bakar Shiddiq tepat saat azan Ashar berkumandang. Seluruh tubuhku bergetar
tidak seperti biasanya. Keringat dinginku keluar. Aku tidak tahu shalatku kali
ini khusyuk apa tidak. Yang jelas mataku basah. Dalam sujud aku menangis
memohon kepada Allah agar diberi umur yang penuh berkah, pertemuan dengan calon
belahan jiwa yang penuh berkah, akad nikah yang penuh berkah, malam zafaf yang
penuh berkah, dan masa depan yang penuh berkah. Selesai shalat aku masih duduk
menitikkan air mata. Aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi.
Sebentar lagi aku akan bertemu dengan dia. Dia yang aku belum tahu namanya dan
belum tahu wajahnya seperti apa. Dia yang telah lama kurindu. Aku minta
kekuatan kepada Allah.
Syaikh Utsman menyentuh
pundakku beliau tersenyum. Beliau mengajakku ikut serta dalam mobil beliau.
Dari masjid Abu Bakar sampai ke rumah beliau memang agak jauh. Syaikh Utsman
memiliki seorang sopir bernama Faruq. Selama dalam perjalanan Syaikh Utsman
bercerita masa mudanya dulu. Beliau dan Ummu Fathi asalnya juga tidak saling
kenal. Bertemu dalam majlis khitbah. Dan cinta itu hadir begitu saja setelah
akad nikah, begitu kuatnya.
“Anakku, kau pasti
panas dingin sekarang. Iya ‘kan? Aku dulu juga merasakan hal yang sama. Dalam
perjalanan bersama keluarga ke rumah Ummu Fathi, untuk bertemu pertama kalinya
sekaligus khitbah hatiku berdesir, jantungku berdegup, keringat dingin keluar.
Tapi itulah saat-saat yang tak terlupakan. Dan ketika kami bertemu. Ummu Fathi
keluar mengeluarkan minuman dengan tangan bergetar. Mata kami sekilas bertemu
dan hati diliputi rasa malu yang luar biasa. Itu adalah kenikmatan luar biasa.
Kenikmatan istimewa yang jarang dirasakan anak muda sekarang, kecuali yang
benar-benar menjaga diri dan menjaga hubungan lelaki perempuan dalam adab-adab
syar’i. Kulihat mukamu pias, kau pasti sedang panas dingin. Anakku, tunggulah
nanti sebentar lagi ketika kau sudah duduk di ruang tamu dan gadis itu masuk
bersama walinya kau akan merasakan panas dingin yang luar biasa. Panas dingin
yang belum pernah kau rasakan. Apalagi kala kau dan dia nanti sesekali mencuri
pandang. Suasana hatimu tidak akan bisa kau lupakan seumur hidupmu. Inilah
keindahan Islam. Dalam Islam
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
156
hubungan
lelaki perempuan disucikan sesuci-sucinya namun tanpa mengurangi keindahan
romantisnya.” Kata-kata Syaikh Utsman menambah tubuhku semakin dingin. Syaikh
Utsman seperti masih muda. Beliau juga menasihatiku agar majelis pertemuan
nanti benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengenalkan diri dan
mengenal gadis itu. Syaikh Utsman dan wali gadis itu hanya akan menjadi pembawa
acara.
* * *
Memasuki ruang tamu
Syaikh Utsman kakiku seperti lumpuh. Aku hampir tidak bisa mengangkat kakiku.
Tubuhku gemetar. Ruang tamu yang penuh dengan kitab-kitab klasik ini akan menjadi
saksi penting dalam sejarah hidupku. Syaikh Utsman mempersilakan aku duduk di
sofa busa yang menghadap ke barat. Di sebelah selatan ada sofa panjang
menghadap utara untuk dua orang. Di sebelah barat ada sofa menghadap ke timur
untuk satu orang. Di sebelah utara ada dua sofa menghadap ke selatan. Pintu ada
dekat tempat aku duduk.
Ummu Fathi keluar
membawa nampan berisi dua gelas air putih. Untuk kami berdua. “Anakku, ayo
diminum dulu. Kau tampaknya kehausan,” ucap Syaikh Fathi. Aku meneguk sedikit.
“Lima menit lagi, mereka insya Allah datang!” sambung beliau. Jantungku
berdegup kencang. Panas dingin tubuhku semakin kuat terasa. Aku banyak
beristighfar di dalam hati untuk menenangkan diri.
Bel berbunyi.
“Itu mereka datang. Kau
tetaplah duduk di tempatmu!” kata Syaikh Fathi. Aku tidak bisa lagi menangkap
nuansa yang menyergap hatiku. Berbagaimacam perasaan bercampur menjadi satu;
penasaran, rindu, malu, gugup, takut, cemas, tidak percaya diri, optimis,
senang, dan bahagia. Ummu Fathi mengambil dua gelas berisi air putih itu.
Sementara Syaikh Fathi beranjang membukakan pintu.
Suara pintu di buka.
Aku sama sekali tidak berani memandang ke arah pintu yang hanya dua meter di
sampingku.
“Assalamu’aikum!”
Hatiku berdesir keras. Suara lelaki. Bukan suara orang Indonesia, tapi suara
itu memang sangat khas dan aku sangat mengenalnya. Aku masih menunduk.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
157
89 Terima kasih
atas hadiahnya yang cantik, Paman dari Indonesia.
“Wa’alaikumussalam
wa rahmatullah. Ahlan wa sahlan. Ayo masuk! Fahri,
berdirilah sambutlah calon pamanmu!” Suara Syaikh Utsman membuatku tergagap.
Aku berdiri. Dan….
Subhanallah!
Lelaki
yang berdiri di hadapanku adalah Eqbal Hakan Erbakan. Dia tersenyum padaku.
Hatiku terasa dingin sekali. Aku berusaha tersenyum. Aku tak tahu seperti apa
raut mukaku. Aku sungguh-sungguh terkejut. Kami berangkulan erat sekali. “Kaif
halak ya ‘aris!” Eqbal membisikkan kata sapaan padaku, yang dalam kata
sapaan ada kata-kata yang menggoda. Dia sudah memanggilku ‘ya ‘aris’, wahai
pengantin pria.
“Alhamdulillah,”
lirihku.
Di belakang Eqbal ada
dua perempuan bercadar dan dua anak kecil yang lucu. Aku kenal dengan dua anak
kecil itu. Amena dan Hasan. Amena membawa boneka panda. Aku jadi teringat itu
boneka yang kutitipkan lewat Aisha. Dan Hasan membawa pistol air mainan. Dua
perempuan bercadar itu menatapku sekilas, lalu beranjak menyalami Ummu Fathi.
Mereka berpelukan bergantian. Eqbal menarik tangan Amena dan Hasan agar
bersalaman denganku. Aku berjongkok. Melihat Amena dan Hasan yang lucu rasa
grogiku sedikit berkurang. Aku cium kening Amena yang baru berumur lima tahun
itu juga kening Hasan yang baru tiga tahun. Eqbal minta pada Amena untuk
berterima kasih padaku atas hadiahnya.
“Syuklon alal hadieh
el jamileh, Am…amu Andonesy.”89 Lirih
Amena terbata-bata dengan suara agak cedal. Kontan Syaikh Utsman tertawa. Aku
tersenyum saja.
Ummu Fathi, isteri
Syaikh Utsman mempersilakan yang bernama Aisha agar duduk di sofa yang
menghadap ke timur. Dan mempersilakan isteri Eqbal duduk di dekat Aisha, sofa
yang menghadap ke selatan. Beliau sendiri duduk tepat di depannya. Syaikh
Utsman duduk di sampingnya, dekat denganku. Dan Eqbal duduk berhadapan dengan
Syaikh Utsman, juga berdekatan denganku. Si kecil Amena duduk di pangkuan
ibunya. Dan si kecil Hasan berdiri di depan ayahnya.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
158
Pembicaraan
di mulai. Jantungku mulai berdegup kencang. Tubuhku panas dingin. Kini aku tahu
gadis itu adalah Aisha. Keponakan Eqbal Hakan Erbakan. Syaikh Utsman benar,
Aisha telah mengenalku dan aku telah mengenalnya. Perkenalan yang begitu
singkat. Aisha mungkin tahu banyak tentang diriku. Ia mungkin telah mendapat
banyak info dari Eqbal. Sebab selama bersahabat dengan Eqbal dan selama i’tikaf
di masjid Helmeya Zaitun kami sudah seperti keluarga sendiri. Eqbal banyak
cerita tentang dirinya dan keluarganya. Masa kecilnya. Bagaimana bisa ke Mesir.
Bagaimana bisa menikah dengan Sarah yang kini jadi isterinya. Sarah yang dari
keluarga konglomerat Turki namun sangat kuat penghayatannya atas Islam. Aku pun
telah cerita banyak pada Eqbal. Tentang keluargaku yang miskin. Tentang
bagaimana diriku datang ke Mesir dengan menjual sawah warisan kakek. Harta
satu-satunya yang dimiliki keluarga. Tentang awal-awal di Mesir yang penuh
derita. Tak ada beasiswa. Tak ada pemasukan. Kerja membantu Bang Aziz
mendistribusikan tempe ke rumah-rumah mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia.
Jualan beras dengan cara mengambil beras dari pelosok Mesir seperti Zaqaziq dan
menjual ke teman-teman mahasiswa. Dan lain sebagainya. Aisha mungkin telah tahu
banyak tentang diriku, tapi aku apa yang aku ketahui tentang dirinya. Melihat
mukanya saja belum.
Sarah, isteri Eqbal
berbicara dengan Ummu Fathi. Sesekali Syaikh Fathi dan Eqbal menimpali. Sarah
menceritakan siapa Aisha ini.
Aku memandang ke arah
Aisha, pada saat yang sama dua matanya yang bening di balik cadarnya juga
sedang memandang ke arahku. Pandangan kami bertemu. Dan ces! Ada setetes embun
dingin menetes di hatiku. Kurasakan tubuhku bergetar. Aku cepat-cepat
menundukkan kepala. Dia kelihatannya melakukan hal yang sama. Kukira Aisha
tidak setegang diriku, sebab dia merasa lebih santai. Wajahnya tersembunyi di
balik cadarnya. Sementara diriku, aku tidak tahu seperti apa bentuk mukaku. Aku
harus mencari cara untuk menghilangkan ketegangan ini. Si kecil Hasan
memandangi aku. Aku tersenyum padanya. Kutarik dia ke pangkuanku. Dia menurut.
Dengan adanya Hasan di
pangkuanku aku jadi merasa lebih nyaman. Aku bisa membelai-belai rambutnya.
Hasan anak yang penurut. Kelihatannya ia benar-benar masih ingat padaku.
Sesekali ia berceloteh dan aku menanggapi lirih sambil
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
159
90 Perkenalan
mencium kepalanya gemas. Dan
di balik cadar, mata bening Aisha memperhatikan apa yang aku lakukan.
“Ini adalah majelis ta’aruf90
untuk dua orang yang sedang berniat untuk melangsungkan
pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda boleh melihat wajah perempuan
yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya tarik dan untuk menyejukkan hati.
Maka lebih baiknya Anakku Aisha membuka cadarnya. Meskipun Fahri sudah melihat
wajahmu lewat album foto. Tetapi dia harus melihat yang asli sebelum
melangsungkan akad nikah. Bukankah begitu Ummu Amena?” Kata-kata Ummu Fathi ini
membuat jantungku berdesir. Sebentar lagi Aisha akan menanggalkan cadarnya, dan
aku..masya Allah..aku akan melihat wajah calon isteriku.
Aku memandang Aisha.
Dia memandangku lalu menunduk. Kelihatannya dia sangat malu dan salah tingkah.
“Aisha, bukalah
cadarmu! Calon suamimu berhak melihat wajah aslimu,” desak Sarah, bibinya.
Sambil
mendekap Hasan aku menyaksikan tangan kanan Aisha perlahan-lahan membuka
cadarnya. Ada hawa sejuk mengalir dari atas. Masuk ke ubun-ubun kepalaku dan
menyebar ke seluruh syaraf tubuhku. Wajah Aisha perlahan terbuka. Dan wajah
putih bersih menunduk tepat di depanku. Subhanallah. Yang ada di depanku
ini seorang bidadari ataukah manusia biasa. Mahasuci Allah, Yang menciptakan
wajah seindah itu. Jika seluruh pemahat paling hebat diseluruh dunia bersatu
untuk mengukir wajah seindah itu tak akan mampu. Pelukis paling hebat pun tak
akan bisa menciptakan lukisan dari imajinasinya seindah wajah Aisha. Keindahan
wajah Aisha adalah karya seni mahaagung dari Dia Yang Maha Kuasa. Aku
benar-benar merasakan saat-saat yang istimewa. Saat-saat untuk pertama kali
melihat wajah Aisha.
“Bagaimana apakah
kalian sudah benar-benar siap membangun rumah tangga berdua?” Pertanyaan Syaikh
Fathi membuat diriku mendongakkan kepala. Aisha juga melakukan hal yang sama.
Pandangan kami bertemu. Dan ces! Hatiku seperti ditetesi embun dingin dari
langit. Entah hati Aisha. Lalu kami kembali menundukkan kepala. Aku diam tidak
menjawab.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
160
“Akh Fahri, bagaimana, kau siap menerima Aisha sebagai
isterimu?” tanya Eqbal dengan suara tegas. Aku malah meneteskan air mata.
“Akh
Eqbal, semestinya bukan aku yang kau tanya. Tanyalah Aisha, apakah dia siap
memiliki seorang suami seperti aku? Kau tentu sudah tahu siapa aku. Aku ini
mahasiswa yang miskin. Anak seorang petani miskin di kampung pelosok
Indonesia,” jawabku terbata-bata sambil terisak. “Apakah aku kufu dengannya?
Aku merasa tidak pantas bersanding dengan keponakanmu itu. Aku tidak ingin dia
kecewa di belakang hari,” lanjutku.
“Baiklah, biar Aisha
sendiri yang menjawabnya. Bicaralah Aisha, jangan malu,” ujar Eqbal.
Aku mencuri pandang
melihat Aisha. Ia menundukkan kepalanya. Bulu matanya yang lentik
bergerak-gerak.
“Baiklah,
aku akan bicara dari hatiku yang terdalam. Fahri, dengan disaksikan semua yang
hadir di sini, kukatakan aku siap menjadi pendamping hidupmu. Aku sudah
mengetahui banyak hal tentang dirimu. Dari Paman Eqbal, dari Nurul dan
orang-orang satu rumahnya. Dari Ustadzah Maemuna isteri Ustadz Jalal. Dari
Ruqoyya, isteri Aziz. Aku tidak akan sangat berbahagia menjadi isterimu. Dan
memang akulah yang meminta Paman Eqbal untuk mengatur bagaimana aku bisa
menikah denganmu. Akulah yang minta.” Aisha menjawab dengan bahasa Arab fusha
yang terkadang masih ada sususan tata bahasa yang keliru namun tidak mengurangi
pemahaman orang yang mendengarnya. Suaranya terasa lembut dan indah, lebih
lembut dari suaranya saat berkenalan di Metro dan beberapa kali bertemu,
di Tahrir dan di National Library. Aku tidak tahu kenapa. Apakah karena aku
kini telah jatuh cinta padanya? Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Dan
semoga juga yang terakhir kalinya.
“Bagaimana Fahri, Kau
sudah mendengar sendiri dari Aisha, sekarang kau bagaimana?” ujar Eqbal sambil
memandang ke arahku. Semua mata tertuju ke arahku, kecuali mata si kecil Amena
dan Hasan. Aku memberanikan diri untuk menatap wajah Aisha, agak sedikit lama.
Aisha memandangku, ia menanti jawabanku. Aku merasa tak mampu menahan air mata
yang meleleh.
“Jika
Aisha sedemikian mantapnya dan percaya padaku, maka, bismillah, aku pun
mantap menerima Aisha untuk jadi isteriku, pendamping hidupku dan ibu
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
161
dari
anak-anakku, aku akan sepenuh hati percaya padanya,” kataku dengan suara parau
bergetar, dengan mata tetap menatap Aisha. Aku melihat mata Aisha berkaca-kaca.
Suasana hening dan haru menyelimuti ruangan itu.
“Aku jadi teringat lima
puluh tahun yang lalu, saat mengkhitbah Ummu Fathi, suasananya tak jauh
berbeda. Penuh dengan perasaan cinta dan nuansa indah yang tak bisa dilukiskan
dengan kata-kata.” Suara Syaikh Utsman memecahkan keheningan dan keharuan.
Syaikh Utsman lalu bercerita tentang hari-hari pertamanya membangun rumah
tangga. Banyak hal lucu penuh hikmah yang beliau kisahkan. Terkadang Ummu Fathi
yang juga sudah tua menyela. Suasana jadi lebih hidup.
Pembicaraan terus
berlanjut ke masalah kami berdua, masalah diriku dan masalah Aisha. Syaikh
Utsman mampu menggiring kami untuk membuka diri. Aku berterus terang tentang
sakitku sebulan yang lalu. Aisha membuka dirinya pernah sakit Asma. Aku
ungkapkan kembali persyaratan ibuku, bahwa isteriku mau tidak mau harus hidup
dan berjuang di Indonesia.
“Diriku sudah aku
wakafkan di jalan Allah. Aku siap hidup dan berjuang di mana saja mendampingi
perjuangan suamiku tercinta.” Tegas Aisha tanpa ragu sedikitpun.
Kami lalu berbicara
tentang harapan masing-masing. Cita-cita dan idealisme masing-masing. Aku
merasa apa yang diharapkan dan dicita-citakan Aisha tidak ada yang
berseberangan jauh dengan apa yang aku harapkan dan aku cita-citakan. Dia ingin
suami yang sepenuh hati mencintainya, menjadikan dirinya satu-satunya
isterinya, setia dalam suka dan duka, perhatian pada keluarga, dan tidak
melalaikan tugas berjuang di jalan Allah. Itu adalah juga yang aku inginkan
dari isteriku. Aku ingin isteri yang shalihah, setia dan tidak mengkhianati
Allah dan Rasul-Nya.
Setelah pembicaraan
berlangsung lama, rasa canggung tidak lagi penghalang untuk mengungkapkan
segala yang ingin diungkapkan. Aku bahkan tanpa perlu malu, dan dengan penuh
keterus-terangan membuka kemampuanku mencari nafkah saat ini. Andalanku adalah
terjemahan. Dan karena sedang konsentrasi penulisan tesis, aku tidak bisa
menerjemah sebanyak yang kemarin.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
162
Aku
jelaskan nominal yang kira-kira masuk tiap bulan. Itu pun terkadang terlambat
pembayarannya. Juga uang yang aku punya saat ini.
Aisha menjawab dengan
tenang,
“Alhamdulillah
aku sudah mempelajari sifat perempuan Jawa. Aku sangat kagum pada mereka.
Mereka adalah perempuan yang sangat setia, dan peduli pada keluarga. Di Jawa
seorang isteri terlibat sepenuhnya dalam masalah keluarga. Isteri ikut
memikirkan bagaimana dapur mengepul. Perempuan Jawa bisa hidup sederhana.
Seperti Fatimah Zahra puteri Rasulullah bisa hidup sangat sederhana, yang
mengambil air dan membuat roti sendiri. Padahal dia puteri seorang nabi agung.
Aku siap untuk hidup seperti Fatimah Zahra. Aku sudah meneliti mahasiswa
Indonesia, khususnya dari Jawa yang berkeluarga di Cairo. Mereka hidup sangat
sederhana. Mengatur uang yang ada sebaik-baiknya. Saling melengkapi. Aku siap
hidup seperti mereka. Menurut Ruqoyya isteri seorang mahasiswa bernama Aziz
yang berjualan tempe. Dengan uang 150 dollar ia sudah bisa hidup normal
meskipun sangat sederhana dengan menyewa rumah yang sederhana. Aku bahkan siap
untuk hidup lebih buruk dari itu. Aku siap dalam suka maupun duka.”
Aku mantap dengan apa
dengar dari Aisha. Semoga apa yang ia katakan adalah apa yang keluar dari
hatinya. Kata-kata adalah cermin jiwa.
Lalu aku mengutarakan
masalah cadar yang dipakai Aisha. Bukan aku tidak setuju atau menentangnya.
Tapi untuk fiqh dakwah di Indonesia lebih hikmah tidak pakai cadar. Aku
jelaskan kondisi masyarakat di desaku dan sekitarnya. Perempuan bercadar akan
dianggap sangat aneh dan mencurigakan.
“Jangan kuatir. Aisha
dan Sarah isteriku adalah muslimah-muslimah moderat. Itu tidak akan menjadi
masalah. Sarah sendiri kalau pulang ke Turki tidak memakai cadar. Menurut
mayoritas Ulama, menutup wajah bagi perempuan tidak wajib. Yang wajib adalah
menutup seluruh aurat kecuali telapak tangan dan wajah,” jelas Eqbal.
“Ya. Paman Eqbal
benar,” sahut Aisha.
Setelah
segala yang bersifat pribadi dirasa cukup, dan kami merasa benar-benar akan
bisa menjadi pasangan hidup yang serasi, bisa saling mengisi dan melengkapi,
pembicaraan berlanjut ke masalah akad nikah dan pesta walimatul
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
163
91 Auditorium,
balai pertemuan.
‘ursy.
Aisha ingin akad dan pesta dilaksanakan secepatnya. Setelah dikalkulasi dan
timbang paling cepat akad dilaksanakan satu minggu lagi dan pestanya dua hari
setelahnya. Akhirnya ditetapkan akad nikah akan dilaksanakan Jum’at depan,
tanggal 27 Sepetember, di masjid Abu Bakar Shiddiq setelah shalat Ashar. Karena
nantinya Aisha akan tinggal di Indonesia, maka aku harus mengurusi segalanya
yang berkaitan dengan dokumen pernikahan yang diakui di Indonesia. Aku jelaskan
itu mudah. Eqbal akan melengkapi semua dokumen Aisha yang diperlukan untuk
Kedutaan Besar Republik Indonesia. Aisha bilang ia juga akan mencatatkan
pernikahannya ke kedutaan Jerman.
Aisha meminta agar uang
yang aku miliki saat ini disiapkan untuk mahar dan pengurusan surat nikah KBRI.
Adapun biaya yang lainnya biar paman Eqbal yang mengurusi. Tempat pesta walimatul
ursy juga ditetapkan saat itu juga. Yaitu di Darul Munasabat91
masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Itu adalah tempat yang
paling cocok. Letaknya strategis. Dekat dengan tempat tinggal umumnya mahasiswa
Indonesia dan mahasiswa Turki. Jumlah orang indonesia yang akan diundang
sekalian di tentukan. Tentunya undangan terbatas. Karena di pihak Aisha juga
mengundang orang Turki. Undangan disesuaikan dengan kapasitas tempat duduk.
Jenis hidangan yang disajikan juga ditetapkan. Tidak terlalu mewah tapi juga
tidak terlalu sederhana. Yang dicari adalah barakahnya.
Malam
zafaf juga ditentukan. Tidak setelah akad, tapi setelah walimah. Tempatnya di
mana, Aisha dan Sarah yang akan merancangnya. Aku diminta tinggal menerima jadi
saja. Sebab suasana kamar pengantin akan dibuat suasana Turki. Sarah adalah
seorang da’iyah di kalangan mahasiswi Turki, karenanya aku yakin
meskipun di tata ala Turki tapi tidak akan menyimpang dari sunnah nabi.
Saat itu juga Eqbal
mengukur tubuhku untuk mencari pakaian pengantin yang akan dipakai saat walimah
nanti. Sesuai keinginan Aisha, rencananya kami berdua akan memakai busana
pengantin muslim Turki. Hal-hal seperti itu bagiku tidak ada masalah. Semua
panitia akan ditangani oleh teman-teman dari Turki. Eqbal hanya minta bantuan
beberapa orang untuk penyambut tamu dan penyaji hidangan.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
164
Perbincangan
selesai tepat saat azan maghrib berkumandang. Sore itu sejarah baru hidupku
telah dirancang dengan matang. Aisha sempat tersenyum padaku sebelum ia dan
keluarganya meninggalkan ruang tamu Syaikh Utsman. Aku tidak bisa mengungkapkan
rasa cintaku yang membuncah memenuhi segenap ruang hatiku. Aku melangkahkan
kaki dengan perasaan bahagia tiada terkira, meskipun aku tidak mengingkari ada
sedikit rasa cemas. Cemas yang terlahir dari kekurangpercayaan pada apa yang
aku alami. Yang aku alami tadi sungguhkah kejadian nyata ataukah sekadar mimpi
belaka? Terkadang orang yang terlalu bahagia melihat apa yang dialaminya
seperti mimpi. Terkadang waktu berjalan sedemikian cepatnya tanpa memberi kita
kesempatan untuk berpikir sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diri kita
sendiri.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar