10.
Sepucuk Surat Cinta
Ini malam Sabtu. Besok
pagi aku harus pergi. Memasukkan proposal tesis ke kampus. Menemui Alicia dan
Aisha di National Library. Dan mengirimkan naskah terjemahan ke redaksi sebuah
penerbit di Jakarta melalui email. Perjalanan yang agak melelahkan kelihatannya.
Semua telah siap, kecuali naskah terjemahan. Belum selesai di edit. Aku ingin
besok pagi semuanya berjalan seperti rencana. Sekali melakukan perjalanan
banyak yang diselesaikan. Malam ini mau tidak mau aku harus sedikit keras pada
diriku sendiri. Aku harus kerja lembut mengedit hasil terjemahanku sampai
benar-benar matang.
Untuk
persiapan lembur ini, aku telah menyiapkan dopping andalan. Madu murni,
susu kambing murni yang dibelikan oleh Hamdi dari para penggembala kambing yang
biasa lewat di Wadi Hof, dan telur ayam kampung. Agar suasana segar aku membuka
jendela dan pintu kamar terbuka lebar-lebar. Pelan-pelan kusetel nasyid Athfal
Filistin. Semangat bocah-bocah cilik Palestina yang membara dengan celoteh
mereka yang menggemaskan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan intifadhah membuat
diriku bersemangat dan tidak mengantuk. Aku sudah minta izin teman-teman untuk
membunyikan nasyid ini sampai tengah malam. Aku minta mereka menutup pintu
kamar masing-masing agar tidak terganggu tidurnya.
Ternyata
mereka malah asyik meminjam film Ashabul Kahfi dari seorang teman di
Nasr City. Dan menontonnya di kamar Rudi. Mereka memerlukan waktu 16 jam untuk
menonton film yang dibuat Iran dan Lebanon itu. Sebab film Ashabul Kahfi adalah
film yang diputar bersambung oleh stasiun TV Lebanon selama bulan Ramadhan
tahun kemarin. Hanya yang memiliki parabola yang bisa menontonnya. Malam ini
mereka menyediakan waktu khusus untuk menontonnya. Aku belum pernah
menontonnya, sebetulnya sangat ingin. Tapi apakah semua keinginan harus
dipenuhi? Komentar teman-teman yang sudah menontonnya, film Ashabul Kahfi luar
biasa indahnya, mampu menambah keimanan dan memperhalus jiwa. Lain kali semoga
ada kesempatan menontonnya. Malam ini adalah malam kerja.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
120
Malam
ini, sementara teman-teman terbang ke zaman Ashabul Kahfi, mereka berdialog
dengan pemuda-pemuda pilihan itu, aku malah berlayar di lautan kata-kata yang
disusun Ibnu Qayyim. Aku harus membaca dengan teliti dan mengedit tulisan
sebanyak 357 halaman. Tengah malam aku kelelahan. Aku istirahat dengan
melakukan shalat. Ketika sujud kepala terasa enak. Darah mengalir ke kepala.
Syaraf-syarafnya menjadi lebih segar. Kudengar teman-teman bertasbih atas apa
yang mereka lihat di film itu. Aku melemaskan otot-otot dengan menelentangkan
badan di atas kasur. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan.
Aku bangkit hendak meneruskan pekerjaan. Tak sengaja aku melihat sepucuk surat
permintaan mengisi pelatihan terjemah dari sebuah kelompok studi. Aku jadi
teringat dengan sepucuk surat dari Noura yang masih berada di saku baju koko
yang tergantung di dalam almari. Aku belum membacanya. Segera kuambil surat itu
dan kubaca.
Kepada
Fahri bin Abdillah,
seorang mahasiswa
dari Indonesia yang
lembut hatinya dan berbudi mulia
Assalamu’alaikum
warahmatullah wa barakatuh.
Kepadamu kukirimkan
salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga. Salam yang harumnya
melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi. Salam hangat sehangat sinar
mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga Kautsar yang jika direguk
akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam penghormatan, kasih dan cinta
yang tiada pernah pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa.
Wahai orang yang lembut
hatinya,
Entah dari mana aku
mulai dan menyusun kata-kata untuk mengungkapkan segala sedu sedan dan perasaan
yang ada di dalam dada. Saat kau baca suratku ini anggaplah aku ada dihadapanmu
dan menangis sambil mencium telapak kakimu karena rasa terima kasihku padamu
yang tiada taranya.
Wahai orang yang lembut
hatinya,
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
121
Sejak
aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian tiada memiliki
siapa-siapa kecuali Allah di dalam dada, kaulah orang yang pertama datang
memberikan rasa simpatimu dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah menitikkan air
mata untukku ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku.
Wahai orang yang lembut
hatinya,
Ketika orang-orang di
sekitarku nyaris hilang kepekaan mereka dan masa bodoh dengan apa yang menimpa
pada diriku karena mereka diselimuti rasa bosan dan jengkel atas kejadian yang
sering berulang menimpa diriku, kau tidak hilang rasa pedulimu. Aku tidak
memintamu untuk mengakui hal itu. Karena orang ikhlas tidak akan pernah mau
mengingat kebajikan yang telah dilakukannya. Aku hanya ingin mengungkapkan apa
yang saat ini kudera dalam relung jiwa.
Wahai orang yang lembut
hatinya,
Malam itu aku mengira
aku akan jadi gelandangan dan tidak memiliki siapa-siapa. Aku nyaris putus asa.
Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka dan menjual segala kehormatan diriku
karena aku tiada kuat lagi menahan derita. Ketika setan nyaris membalik
keteguhan imanku, datanglah Maria menghibur dengan segala kelembutan hatinya.
Ia datang bagaikan malaikat Jibril menurunkan hujan pada ladang-ladang yang
sedang sekarat menanti kematian. Di kamar Maria aku terharu akan ketulusan
hatinya dan keberaniannya. Aku ingin mencium telapak kakinya atas elusan lembut
tangannya pada punggungku yang sakit tiada tara. Namun apa yang terjadi Fahri?
Maria malah menangis
dan memelukku erat-erat. Dengan jujur ia menceritakan semuanya. Ia sama sekali
tidak berani turun dan tidak berniat turun malam itu. Ia telah menutup kedua
telinganya dengan segala keributan yang ditimbulkan oleh ayahku yang kejam itu.
Dan datanglah permintaanmu melalui sms kepada Maria agar berkenan turun menyeka
air mata dukaku. Maria tidak mau. Kau terus memaksanya. Maria tetap tidak mau.
Kau mengatakan pada Maria: ‘Kumohon tuturlah dan usaplah air mata. Aku menangis
jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal
baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke tempat yang
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
122
jauh
dari linangan air mata selama-lamanya. Maria tetap tidak mau.” Dia menjawab:
“Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa.” Kemudian dengan nama
Isa Al Masih kau memaksa Maria, kau katakan, “Kumohon, demi rasa cintamu pada
Al Masih.” Lalu Maria turun dan kau mengawasi dari jendela. Aku tahu semua
karena Maria membeberkan semua. Ia memperlihatkan semua kata-katamu yang masih
tersimpan dalam handphone-nya. Maria tidak mau aku cium kakinya. Sebab menurut
dia sebenarnya yang pantas aku cium kakinya dan kubasahi dengan air mata haruku
atas kemuliaan hatinya adalah kau. Sejak itu aku tidak lagi merasa sendiri. Aku
merasa ada orang yang menyayangiku. Aku tidak sendirian di muka bumi ini.
Wahai orang yang lembut
hatinya,
Anggaplah saat ini aku
sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air mata haruku. Kalau kau berkenan
dan Tuhan mengizinkan aku ingin jadi abdi dan budakmu dengan penuh rasa cinta.
Menjadi abdi dan budak bagi orang shaleh yang takut kepada Allah tiada jauh
berbeda rasanya dengan menjadi puteri di istana raja. Orang shaleh selalu memanusiakan
manusia dan tidak akan menzhaliminya. Saat ini aku masih dirundung kecemasan
dan ketakutan jika ayahku mencariku dan akhirnya menemukanku. Aku takut
dijadikan santapan serigala.
Wahai orang yang lembut
hatinya,
Sebenarnya aku merasa
tiada pantas sedikit pun menuliskan ini semua. Tapi rasa hormat dan cintaku
padamu yang tiap detik semakin membesar di dalam dada terus memaksanya dan aku
tiada mampu menahannya. Aku sebenarnya merasa tiada pantas mencintaimu tapi apa
yang bisa dibuat oleh makhluk dhaif seperti diriku.
Wahai orang yang lembut
hatinya,
Dalam hatiku,
keinginanku sekarang ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam memang telah
menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yang tiada terkira dalamnya
terhunjam di dada aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal bagimu, yang bisa
kau seka air matanya, kau belai rambutnya dan kau kecup keningnya. Aku tiada
berani berharap lebih dari itu. Sangat tidak pantas bagi gadis miskin yang
nista seperti diriku berharap menjadi isterimu. Aku
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
123
merasa
dengan itu aku akan menemukan hidup baru yang jauh dari cambukan, makian,
kecemasan, ketakutan dan kehinaan. Yang ada dalam benakku adalah meninggalkan
Mesir. Aku sangat mencintai Mesir tanah kelahiranku. Tapi aku merasa tidak bisa
hidup tenang dalam satu bumi dengan orang-orang yang sangat membenciku dan
selalu menginginkan kesengsaraan, kehancuran dan kehinaan diriku. Meskipun saat
ini aku berada di tempat yang tenang dan aman di tengah keluarga Syaikh Ahmad,
jauh dari ayah dan dua kakakku yang kejam, tapi aku masih merasa selalu diintai
bahaya. Aku takut mereka akan menemukan diriku. Kau tentu tahu di Mesir ini
angin dan tembok bisa berbicara.
Wahai orang yang lembut
hatinya,
Apakah aku salah
menulis ini semua? Segala yang saat ini menderu di dalam dada dan jiwa. Sudah
lama aku selalu menanggung nestapa. Hatiku selalu kelam oleh penderitaan. Aku
merasa kau datang dengan seberkas cahaya kasih sayang. Belum pernah aku
merasakan rasa cinta pada seseorang sekuat rasa cintaku pada dirimu. Aku tidak
ingin mengganggu dirimu dengan kenistaan kata-kataku yang tertoreh dalam
lembaran kertas ini. Jika ada yang bernuansa dosa semoga Allah mengampuninya.
Aku sudah siap seandainya aku harus terbakar oleh panasnya api cinta yang
pernah membakar Laila dan Majnun. Biarlah aku jadi Laila yang mati karena
kobaran cintanya, namun aku tidak berharap kau jadi Majnun. Kau orang baik,
orang baik selalu disertai Allah.
Doakan Allah mengampuni
diriku. Maafkan atas kelancanganku.
Wassalamu’alaikum,
Yang dirundung nestapa,
Noura
Tak terasa mataku
basah. Bukan karena inilah untuk pertama kalinya aku menerima surat cinta yang
menyala dari seorang gadis. Bukan karena kata-kata Noura yang mengutarakan apa
dirasakannya terhadapku. Aku menangis karena betapa selama ini Noura menderita
tekanan batin yang luar biasa. Ia sangat ketakutan, merasa tidak memiliki
tempat yang aman. Ia merasa berada dalam kegelapan yang berkepanjangan. Tanpa
cahaya cinta dan kasih dari keluarganya. Ia merasa tidak ada yang peduli
padanya. Ia telah kehilangan kepercayaan dirinya sebagai manusia merdeka tanpa
belenggu nestapa. Sesungguhnya tekanan psikis
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
124
yang
menderanya selama ini lebih berat dari siksaan fisik yang ia terima. Maka
ketika ada sedikit saja cahaya yang masuk ke dalam hatinya, ada rasa simpati
yang diberikan orang lain kepadanya, ia merasa cahaya dan rasa simpati itu
adalah segalanya baginya. Ia langsung memegangnya erat-erat dan tidak mau
kehilangan cahaya itu, tidak mau kehilangan simpati itu dan ia sangat percaya
dan menemukan hidupnya pada diri orang yang ia rasa telah memberikan cahaya dan
rasa simpati.
Aku menyeka air mata
kulipat kertas surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya. Setelah shalat
shubuh aku harus menyampaikan hal ini pada Syaikh Ahmad. Gadis itu perlu terus
diberi semangat hidup dan dikokohkan ruhaninya. Gadis itu perlu diyakinkan
bahwa dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang selama berada di
tengah-tengah orang yang beriman. Aku mengambil air wudhu untuk menenangkan
hati dan pikiran. Aku harus kembali menyelesaikan pekerjaan. Ketika azan shubuh
berkumandang seluruh terjemahan telah selesai aku edit. Langsung kupecah
menjadi empat file. Kumasukkan ke dalam disket. Mataku terasa berat dan perih.
Seperti ada kerikil mengganjal di sana. Aku belum memicingkan mata sama sekali.
Aku bangkit kuajak teman-teman untuk turun ke masjid.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar