23.
Dalam Penjara Bawah Tanah
Aku dibawa ke markas
polisi Abbasea. Diseret seperti anjing kurap. Lalu diinterogasi habis-habisan,
dibentak-bentak, dimaki-maki dan disumpahserapahi dengan kata-kata kotor.
Dianggap tak ubahnya makhluk najis yang menjijikkan. Tuduhan yang dialamatkan
kepadaku sangat menyakitkan: memperkosa seorang gadis Mesir hingga hamil hampir
tiga bulan.
“Orang Indonesia kau
sungguh anak haram. Saat mengandung dirimu, ibumu makan apa heh? Makan bangkai
anjing ya? Kau pura-pura menolong gadis malang itu ternyata kau menerkamnya.
Kau berani menginjak-injak kehormatan perempuan kami. Kau ini mahasiswa Al
Azhar, katanya belajar agama, ternyata manusia bejat berwatak serigala!”
Seorang polisi hitam besar membentakku lalu menampar mukaku dengan seluruh
kekuatan tangannya. Kurasakan darah mengalir dari hidungku.
“Akui saja, kau yang
memperkosa gadis bernama Noura yang jadi tetanggamu di Hadayek Helwan pada jam
setengah empat dini hari Kamis 8 Agustus yang lalu? Akui saja, atau kami paksa
kau untuk mengaku! Jika kau mengakuinya maka urusannya akan cepat.”
Kata-kata polisi itu
membuatku kaget bukan main. Noura hamil dan aku yang dituduh memperkosanya.
Sungguh celaka!
Dengan tetap berusaha
berkepala dingin aku mencoba menjelaskan kepada mereka itu adalah sebuah
tuduhan keji. Lalu kujelaskan semua kronologis kejadian malam itu. Sejak
mendengar jeritan Noura disiksa ayah dan kakaknya sampai paginya dititipkan ke
rumah Nurul. Tapi penjelasanku dianggap seolah suara keledai. Mereka malah
tertawa. Dan menjadikan aku bulan-bulanan oleh hinaan, makian dan tamparan yang
membuat bibirku pecah.
“Kami memiliki bukti
kuat kaulah pemerkosa gadis malang itu. Dia sangat menyesal mengikuti bujuk
rayumu. Dia telah menceritakan semuanya. Dan dia juga punya saksi kau melakukan
perbuatan terkutuk yang merusak masa depannya itu. Kau sudah tahu bahwa hukuman
pemerkosa di negara ini adalah hukuman gantung. Sekarang kau hanya memiliki dua
pilihan. Mengakui perbuatanmu itu, dan kau mungkin akan mendapat keringanan
atas kerja samamu. Sehingga kau
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
232
mungkin
tidak akan dihukum gantung. Atau kau tetap bersikeras mengingkarinya dan
terpaksa nanti pengadilan akan menggantungmu. Pilih mana?” Polisi hitam besar
kembali menggertak. Hatiku sempat ciut. Aku teringat ulama-ulama yang mengalami
nasib tragis di tangan para algojo negara ini. Apa pun jalannya, kematian itu
satu yaitu mati. Allah sudah menentukan ajal seseorang. Tak akan dimajukan dan
dimundurkan. Maka tak ada gunanya bersikap lemah dan takut menghadapi kematian.
Dan aku tidak mau mati dalam keadaan mengakui perbuatan biadab yang memang
tidak pernah aku lakukan.
“Kapten, aku memilih
membuktikan di pengadilan bahwa aku tidak bersalah. Aku yakin negara ini punya
undang-undang dan hukum. Aku minta disediakan pengacara!”
“Tindakan bodoh! Di
pengadilan kau akan kalah! Kau akan dihukum gantung! Lebih dari itu kau akan
masuk surat kabar! Kau akan diteriaki orang-orang sebagai pemerkosa! Kenapa kau
tidak memilih mengakuinya dan kita tutup kasus ini diam-diam. Kita buat
kesepakatan-kesepakatan dengan keluarga Noura sekarang. Kalau mereka memaafkan
kau mungkin akan bernasib lebih baik.Kami masih sedikit berbelas kasihan padamu
karena kau orang asing. Kalau kau orang Mesir sudah kami binasakan!” bentak
polisi hitam dengan mata melotot.
“Aku bukan pelaku
pemerkosaan itu Kapten! Aku akan buktikan bahwa aku tidak bersalah!” tegasku.
“Baiklah aku akan
memberimu waktu berpikir dua hari. Jika kau tetap bersikeras tidak mau mengaku
dan mengambil jalan kompromi maka terpaksa kau kami seret ke meja hijau dan
jangan salahkan kami jika nasibmu berakhir di tiang gantungan dan namamu
dilaknat semua orang!”
“Yang berhak melaknat
hanya Allah. Dan hanya Allahlah yang tahu segalanya. Aku tidak akan takut
dengan caci maki manusia selama aku merasa berada di jalan yang benar!”
“Hahaha…kau ini sok
pintar! Jalan benar apa? Apa memperkosa itu jalan yang benar? Kau ini sudah
selesai S.1. di Al Azhar. Gadis-gadis Indonesia saja banyak kenapa ketika itu
kau tidak memilih menikah dengan salah satu dari mereka. Kenapa kau malah
memilih memperkosa gadis malang itu dengan pura-pura mau menolong? Dan itu kau
anggap jalan yang benar? Dasar anak anjing!
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
233
Dasar
anak pelacur!” Polisi hitam itu mengumpat-umpat kasar. Entah kenapa mendengar
kalimat umpatan terakhir darahku mendidih.
“Kau
yang anak anjing! Wajahmu hitam penuh dosa! Kau yang anak pelacur! Yakhrab
baitak!” balasku mengumpat dengan sama kasarnya. Wajah polisi itu semakin
gosong. Giginya gemerutuk seperti monster mau menelanku. Ia pun melayangkan
tangan kanannya ke mukaku.
“Bawa dia ke penjara
dan cambuk sepuluh kali atas penghinaannya padaku!” Perintahnya pada tiga anak
buahnya yang tadi menangkapku. Tiga polisi itu lalu menggelandangku ke penjara.
Inilah untuk pertama kalinya aku masuk penjara. Kami melewati sel-sel yang
berisi tahanan yang semuanya orang Mesir. Mereka semua terheran-heran melihat
kehadiranku. Tiga polisi itu terus menggelandangku hingga sampai disebuah
ruangan kosong. Ada sebuah kursi kayu kusam dan didindingnya tergantung
beberapa alat penyiksa. Cambuk. Pentungan dari karet. Ganco. Tali. Dan lain
sebagainya.
Polisi gendut melepas
pakaianku. Lalu menyuruhku berdiri menghadap tembok. Setelah itu aku merasakan
sabetan cambuk yang perih di punggungku. Tidak sepuluh kali tapi lima belas
kali. Aku merasakan sakit luar biasa. Mereka lalu melepas borgolku dan
menyeretku ke sebuah ruangan, melucuti semua pakaianku kecuali pakaian dalam.
Juga sepatuku. Dalam keadaan hanya memakai celana dalam mereka menggunduliku.
Lalu melempar seragam tahanan ke arahku. Cepat-cepat aku menutup aurat. Si
Kumis menyuruh aku berdiri tegap dengan tangan diletakkan dibelakang punggung.
Si Hitam memegang kedua tanganku yang kulipat dibelakang punggung kuat-kuat.
Sementara Si Gendut mengikat kedua kakiku. Lalu dengan sangat kurang ajar Si
Kumis mempermainkan kemaluanku. Aku menjerit-jerit dan meronta-ronta. Meludahi
Si Kumis. Tapi mereka terus saja terbahak-bahak seperti setan. “Ini yang
digunakan untuk memperkosa itu oh..oh..oh! Burung kakak tua..hehehe..kecil
sekali tak ada apa-apanya dengan milikku…hehehe..tapi berani kurang ajar ya
hehehe..hahaha!”
Sungguh perlakuan yang
sangat tidak manusiawi. Aku merasakan penghinaan yang luar biasa. Aku belum
pernah merasakan diriku dihina dan kehormatanku dinistakan senista itu. Aku
lebih suka dirajam daripada dihina seperti itu. Jika aku sampai terlihat
mengucurkan air mata, maka ketiga setan itu
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
234
akan
semakin gila tertawanya. Aku merintih dalam hati. Batinku menangis
sejadi-jadinya memohon keadilan kepada Allah. Agar mereka diganjar atas
kekurangajaran mereka. Aku terus menjadi bulan-bulanan mereka sampai aku tidak
sadarkan diri.
* * *
Ketika sadar, aku
berada di sebuah kamar gelap dan pengap.
“Alhamdulillah,
kau sudah sadar.” Suara orang yang kurasa sangat tua. Di keremangan cahaya
buram lampu di luar kamar yang masuk melalui jeruji pintu sel aku bisa
menangkap wajah orang tua berjenggot putih duduk di dekatku.lalu empat orang
lainnya. Dua setengah baya dan dua lainnya muda. Mereka semua memakai pakaian
tahanan yang lusuh.
“Kelihatannya kau bukan
orang Mesir?” tanya kakek tua ramah. Aku sedikit tenang mendengar suaranya yang
lembut. Tapi aku kuatir dengan yang empat, kalau mereka orang-orang yang jahat
aku bisa jadi bulan-bulanan di penjara ini. Aku pernah mendengar adanya hukum
rimba di dalam penjara. Apalagi aku asing sendiri di sini.
“Dari Indonesia.”
“Siapa namamu?”
“Fahri Abdullah
Shiddiq.”
“Nama yang bagus.
Namaku Abdur Rauf.”
“Apa yang kau lakukan
di Mesir?”
“Hanya belajar.”
“Di mana?”
“Di Al Azhar.”
“Masya
Allah. Lantas bagaimana ceritanya kau bisa masuk penjara ini?”
“Musibah ini datang
begitu saja. Aku dituduh memperkosa gadis Mesir, padahal aku tidak pernah
melakukan perbuatan keji itu. Bagaimana mungkin aku akan melakukannya padahal
aku memiliki seorang ibu, bibi, isteri dan nanti mungkin seorang anak
perempuan. Aku terkadang tidak bisa memahami sistem yang berlaku di negara
ini?”
“Di mana kau
ditangkap?”
“Di rumah.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
235
“Nasibmu
masih lebih bagus dariku Anak muda. Aku ditangkap disaat sedang menguji tesis magister
di universitas. Di depan sekian banyak orang aku diperlakukan seperti tikus.”
“Jadi Anda seorang guru
besar?”
Pemuda berwajah putih
yang sejak tadi mematung di pojok ruangan menyahut sambil mendekat, “Beliau
adalah Prof. Dr. Abdur Rauf Manshour, guru besar ekonomi pembangunan di
Universitas El-Menya. Beliau kemungkinan ditangkap karena kritik-kritik
tajamnya di koran! Oh ya perkenalkan namaku Ismail, mahasiswa kedokteran tahun
ketiga Universitas Ains Syam, ditangkap karena memimpin demonstrasi di dalam
kampus mengutuk tindakan Ariel Sharon menginjak-injak Masjidil Aqsha dan
perlakuan kejam tentara Israel pada anak-anak Palestina terutama penembakan
Muhammad Al Dorrah dua tahun lalu.”
“Jadi kau sudah dua
tahun mendekam di sini?”
“Ya.”
“Dan hanya karena
memimpin demonstrasi di dalam kampus?”
“Ya.”
“Aku lebih tragis
lagi!” Pemuda yang satunya menyahut, “aku tidak melakukan apa-apa juga
ditangkap. Kau tentu tahu demonstrasi di masjid Al Azhar usai shalat Jum’at
satu tahun yang lalu yang menentang agresi Amerika ke Afganistan. Demonstrasi
itu tidak besar. Bisa dikatakan bukan demonstrasi malah. Lebih tepat dikatakan
protes. Ketika orang-orang bertakbir aku ikut bertakbir. Hanya itu. Keluar
masjid aku ditangkap dan mendekam di sini sampai sekarang. Kenalkan namaku
Ahmad biasa dipanggil Hamada. Aku tidak kuliah, lulus SLTA langsung bekerja di
penerbit Muassasa Resala.”
“Muassasa Resala di
dekat Abidin Attaba itu?” tanyaku.
“Benar.”
Kami lalu berbincang
banyak dan saling mengenal satu sama lain. Dua lelaki setengah baya bernama Haj
Rashed, dia kepala sekolah SD dan imam sebuah masjid kecil di Mathariyah.
Ditangkap dua bulan lalu karena khutbah Jum’atnya yang pedas. Yang satunya
bernama Marwan, mantan pegawai jawatan kereta api, dipenjara sejak setengah
tahun lalu karena membunuh tetangganya yang menggoda isterinya.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
236
“Aku
ini orang paling besar cemburunya di dunia. Sebenarnya aku sudah bersabar dan
beberapa memberi peringatan pada pria kurang ajar itu. Tapi dia sungguh
keterlaluan. Rumah kami dua tingkat di atasnya. Suatu ketika isteriku belanja,
ketika pulang satu lift dengannya. Di dalam lift itulah dia menggerayangi
isteriku. Isteriku lapor padaku. Seketika itu juga kudatangi dia dan kupancung
dia. Dia keliru kalau menganggap diriku tidak bisa berbuat sesuatu. Seandainya
dengan perbuatanku ini aku akan dihukum mati aku akan menerimanya dengan senang
hati. Aku merasa puas karena aku telah membela kehormatan isteriku.”
Cerita Marwan langsung
mengingatkan diriku pada Aisha. Oh Aisha, dia tentu sangat sedih sekarang. Dia
sendirian di flat memikirkan nasibku dengan penuh kecemasan. Aku menitikkan air
mata dan berdoa kepada Allah agar memberikan ketabahan pada Aisha dan agar
melindunginya dari segala mara bahaya.
“Orang Indonesia,
siapkanlah mentalmu! Kau akan menghadapi hari-hari yang mencekam. Hari-hari
yang tidak kau ketahui apakah kau masih hidup atau telah mati. Kamar kita ini
hanya berukuran tiga kali tiga. Kau lihat aku berdiri di atas genangan Air.
Padahal sekarang sudah mulai masuk musim dingin. Setengah ruangan ini tergenang
air. Kau kini duduk dibagian yang kering. Selama ini kita tidur bergantian.
Terkadang tidur sambil berdiri. Kita diberi kesempatan ke WC dan kamar mandi
sehari sekali menjelang shubuh. Itupun dalam antrean yang panjang dan terkadang
kita sama sekali tidak punya kesempatan ke WC karena waktu yang diberikan telah
habis. Siapkanlah mentalmu!” kata Professor Abdul Rauf.
“Gelap dan pengap.
Apakah kita berada di bawah tanah?” tanyaku.
“Benar! Oh ya, tadi kau
pingsan cukup lama. Kelihatannya kau belum shalat ashar,” jawab Professor Abdul
Rauf.
“Astaghfirullah.
Pukul berapa sekarang?” tanyaku.
“Pastinya tidak tahu,
tapi sebentar lagi maghrib datang.”
“Tayammum?”
“Ya.”
Aku lalu tayammum dan
shalat. Selesai shalat Professor Abdul Rauf memimpin kami membaca doa dan
dzikir sore hari. Ditutup doa rabithah yang
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
237
dibaca
oleh Haj Rashed. Tak lama setelah itu azan maghrib berkumandang. Adil bergumam
lirih,
“Ya Allah, inilah saat
malam-Mu datang menjelang, dan siang-Mu telah berlalu, dan inilah suara dari
para penyeru-Mu maka ampunilah kami.”
Karena tempat yang
sempit kami tidak bisa berjamaah sekaligus. Terpaksa dibagi dua jamaah
bergantian. Aku diminta menjadi imam jamaah kedua, dengan alasan aku
satu-satunya yang dari Al Azhar. Aku membaca surat Yusuf, ayat-ayat yang
menceritakan nabi mulia itu dipenjara di Mesir karena tuduhan Zulaikha. Sungguh
nasibku tak jauh berbeda dengan Yusuf. Noura mengaku aku telah memperkosanya.
Aku menangis dalam shalat.
“Bacaan
Al-Qur’anmu indah dan tartil, di mana kau talaqqi?” tanya Haj Rashed
“Di Shubra. Pada Syaikh
Ustman Abdul Fattah.”
“Yang di masjid Abu
Bakar itu?”
“Benar.”
“Pantas. Besok malam
sudah mulai tarawih. Kau saja imamnya ya?”
Pertanyaannya kembali
mengigatkan aku pada Aisha. Dia akan menjalani Ramadhan sendirian dengan hati
sedih. Rencana umrah ke tanah suci dan berhari raya di Indonesia tidak jadi. Oh
begitu cepat perubahan terjadi. Kemarin malam aku masih tidur nyaman di hotel
berbintang di Alexandria bercinta dengan Aisha begitu mesranya. Malam ini aku
meringkuk kedinginan di penjara bawah tanah. Aku nyaris tidak bisa memejamkan
mata. Seluruh tulang terasa ngilu, kulit kedinginan, punggung perih bukan main,
dan kemaluan sakit luar biasa. Bayang-bayang kematian mengintai di semua sudut
ruangan, tapi aku bersikeras untuk bertahan.
Keesokan harinya
terdengar langkah sepatu bot. Lalu suara orang membentak sambil menggedor pintu
sel, “Tahanan nomor 879!”
Tak ada yang menjawab.
Semua diam. Ismail dan Haj Rashed berpandangan.
“Hai tahanan 879!
Anjing! Dungu ya?” Sipir penjara itu marah sekali.
Ismail menepuk
pundakku. “Coba lihat nomormu!” Pelannya. Ia lalu mendekatkan matanya ke
dadaku. Dalam keremangan gelap tertulis di sana nomor
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
238
879.
Berarti aku yang dimaksud. Aku lalu beranjak menuju pintu yang telah dibuka.
Sipir itu langsung menarikku dengan kasar dan menendangku, “Dungu kau!”
Aku kembali dibawa ke
ruang interogasi. Polisi hitam besar yang kemarin mengintrogasiku telah
menunggu dengan segelas teh kental di tangan kanannya. Begitu aku masuk ia
tersenyum sinis. Dua orang polisi yang kemarin menangkapku juga ada di situ. Si
Hitam dan Si Gendut. Aku tidak melihat Si Kumis yang kurang ajar itu.
“Bagaimana orang
Indonesia? Kau mau mengakui perbuatanmu? Aku berjanji akan mengusahakan
keringanan hukumannya?” tanyanya.
“Aku tidak berubah
pikiran. Aku tidak melakukan perbuatan dosa itu. Bagaimana mungkin aku akan
mengakuinya. Aku akan buktikan bahwa aku tidak bersalah!” jawabku tegas.
“Semua penjahat selalu
berkata begitu. Kau sungguh bodoh! Jika kau sampai ke meja hijau kau akan
kalah. Bukti kau bersalah sangat kuat! Kau akan digantung! Kau masih punya
kesempatan satu hari untuk berpikir. Sipir beri dia sedikit sarapan pagi biar
pikirannya cerah!”
Dua anak buahnya itu
lalu membawaku ke ruangan penyiksaan. Aku disuruh berdiri tegak. Si hitam
mengangkat kursi kayu, dua kaki belakang kursi itu diletakkan diatas telapak
kakiku. Dan Si Polisi Gendut lalu menduduki kursi itu. Terang saja aku menjerit
kesakitan. Telapak kakiku terasa remuk tulang-tulangnya. Dan ketika aku
menjerit Si Hitam menjejalkan roti keras ke mulutku hingga menyodok
tenggorokanku. Aku mau muntah tapi raoti kering itu tetap dijejalkan ke
mulutku. Ketika aku sudah tidak tahan dan nyaris pingsan ia menarik roti itu
dan si gendut bangkit dari kursi itu. Aku dibiarkan istirahat sebentar, lalu
disuruh menghadap ke dinding dan dicambuk lima kali. Belum juga puas, mereka
lalu menyodok perutku yang masih kosong dengan popor bedil tiga kali sampai aku
muntah. Rupanya itu yang dimaksud dengan sedikit sarapan pagi. Dengan tubuh
lemas aku diseret dan dilempar kembali di sel bawah tanah. Dan aku jatuh
tertelungkup di dalam sel tak sadarkan diri.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
239
Tidak ada komentar:
Posting Komentar