12.
Siapa Malaikat Itu?
Wajah itu Nurul. Ya
Nurul. Ketika aku terbangun dari ketidaksadaran, aku melihatnya, tak jauh dari
kakiku bersama teman-temannya. Kulihat sekilas wajahnya sendu. Ada juga ketua
dan pengurus PPMI, Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia. Saiful duduk di
dekat kepalaku. Ia paling dekat denganku. Tangannya mengusap pipiku yang basah.
“Alhamdulillah,
Mas Fahri sadar.” Aku mendengar mereka memuji Allah.
“Sabar
Mas Ya? Insya Allah segera sembuh,” lirih Saiful dengan mata
berkaca-kaca.
“Aku sakit apa katanya
Saif?”
“Dokter belum
menjelaskannya Mas.”
Zaimul Abrar, Ketua
PPMI, mendekat, mendoakan, dan atas nama seluruh mahasiswa ikut merasa sedih
atas sakit yang menimpaku. Lalu gantian Nurul mewakili teman-temannya, ketika
dekat dengan diriku ia menatapku dengan penuh iba dan sorot mata yang aku tidak
tahu maknanya. Kedua matanya berkaca-kaca dan sendu. “Cepat sembuh Kak. Cepat
selesaikan masternya dan cepat mengabdi di tanah air tercinta,” katanya
terbata-bata. Aku mendengarnya dengan sesekali memejamkan mata.
“Mas
kami pamit. Kami sudah lama di sini. Syafakallah!” ucap Zaim.
“Kami juga minta diri
Kak,” ikut Nurul.
Mereka pun pulang. Aku
merasa wujudku benar-benar ada dan berarti. Aku merasa diperhatikan, disayang,
dan dicintai semua orang.
Dua
menit setelah mereka keluar, Syaikh Ahmad datang bersama Ummu Aiman. Syaikh
Ahmad berusaha tersenyum padaku. Beliau memelukku pelan sambil mendoakan
kesembuhanku. Ia tahu aku sakit dari Mishbah yang ketika shalat shubuh
mengabarkan padanya. Syaikh Ahmad memberikan sedikit tadzkirah yang
membesarkan hatiku dan menguatkan jiwaku.
“Pintu-pintu surga
terbuka lebar untuk orang yang sabar menerima ujian dari Allah!”
Syaikh Ahmad tidak lama
berada di sisiku. Tak lebih dari seperempat jam. Setelah itu pamitan. Beliau
membawa dua kilo anggur yang sangat segar.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
136
*
* *
Menjelang
maghrib Dokter Ramzi Shakir memberi tahu setelah melihat hasil foto rontgen kepalaku,
aku harus dioperasi. Ada gumpalan darah beku yang harus dikeluarkan. Rencananya
operasi besok pagi pukul delapan. Aku diminta untuk puasa malam ini. Aku
mungkin akan tinggal di rumah sakit sekitar satu bulan lamanya. Aku menitikkan
air mata. Saiful dan Mishbah menghibur, meskipun kulihat mereka berdua juga
menitikkan air mata.
Menjelang
Isya, Syaikh Utsman Abdul Fattah benar-benar datang bersama beberapa teman
Mesir yang mengaji qiraah sab’ah pada beliau. Syaikh Utsman mengusap
kepalaku, persis seperti ayahku mengusap kepalaku. Beliau tersenyum padaku.
Beliau meminta kepada semuanya untuk keluar sebentar. Beliau ingin berbicara
hanya berdua denganku. Saiful, Mishbah dan teman-teman Mesir keluar
meninggalkan kami. Syaikh Utsman duduk di kursi dekat dadaku.
Sambil mengelus rambut
kepalaku beliau berkata,
“Anakku, ceritakan
padaku apa yang dilakukan sahabat nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud padamu?”
Aku kaget bukan main.
Bagaimana Syaikh Utsman tahu kalau aku bertemu sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud
dalam pingsanku.
“Tadi
malam jam tiga saat aku tidur setelah tahajjud aku didatangi Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu anhu. Aku hanya sempat bersalaman saja. Beliau
bilang akan menjengukmu sebelum aku menjengukmu.” Syaikh Utsman seperti
mengerti keherananku, beliau menjelaskan bagaimana beliau tahu aku kedatangan
Abdullah bin Mas’ud.
“Bagaimana Syaikh bisa
yakin aku benar-benar di datangi Abdullah bin Mas’ud?” tanyaku dengan suara
serak untuk lebih meyakinkan diriku.
“Seperti keyakinan
Rasulullah ketika bermimpi akan berhaji dan membuka kota Makkah.”
Jawaban
singkat Syaikh Utsman menyadarkan diriku akan kekuatan mimpi orang-orang shaleh
yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Untung aku sudah membaca dan
menelaah Kitab Ar Ruuh yang ditulis oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauzi.
Murid utama Imam Ahmad bin Hambal dan ulama terkemuka pada zamannya itu
membahas masalah ruh dengan tuntas disertai dalil-dalil yang
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
137
tidak bisa diragukan. Bahwa ruh orang yang telah wafat bisa
bertemu dengan ruh orang yang masih hidup. Semuanya atas izin dan kekuasaan
Allah Swt. Kisah para sahabat dan ulama salafush shalih menjadi bukti
dan kenyataan yang terang tiada keraguan seperti terangnya cahaya matahari di
waktu siang.
Di antaranya, Imam Ibnu
Qayyim menuliskan kisah nyata, dengan sanad yang shahih, dari Imam Hammad bin
Salamah, dari Tsabit, dari Shahr bin Hausyab:
Bahwa dua orang sahabat
nabi yaitu Sha’b bin Jitsamah dan Auf bin Malik adalah bersaudara. Sha’b
berkata kepada Auf,
‘Saudaraku, jika salah
satu di antara kita mati dahulu maka harus berusaha datang menemui dalam
mimpi.’
Auf berkata, ‘Apakah
itu mungkin?’
Sha’ab menjawab, ‘Ya.’
Kemudian meninggallah
Sha’b. Dan Auf melihatnya di dalam mimpi seolah Sha’b mengunjunginya. Auf
menyapa, ‘Wahai Saudaraku!’
‘Ya.’ Jawab Sha’b.
‘Apa yang terjadi
denganmu?’ tanya Auf.
‘Beberapa dosaku telah
diampuni.’ Jawab Sha’b.
Auf melihat ada noda
hitam di lehar Sha’b. Ia langsung bertanya, ‘Saudaraku, ini apa?’
Sha’b menjawab, ‘Ini
adalah sepuluh dinar yang aku pinjam dari lelaki Yahudi (dan belum aku
kembalikan). Sepuluh dinar itu ada di dalam tanduk milikku, berikanlah padanya.
Ketahuilah Saudaraku, semua kejadian yang menimpa keluargaku setelah kematianku
telah kuketahui kabarnya, termasuk kucing yang meninggal beberapa hari yang
lalu. Dan ketahuilah, puteriku akan meninggal enam hari lagi, maka berwasiatlah
yang baik untuknya.’
Ketika bangun Auf
berkata, ‘Dalam mimpi ini ada pemberitahuan.’
Auf lalu mendatangi
keluarga Sha’b. Mereka menyambutnya dengan hangat dan berkata, ‘Selamat datang
Auf, apakah seperti ini perlakuanmu pada keluarga yang ditinggal saudaramu? Kau
tidak mendatangi kami sejak dia meninggal.’ Auf memberikan alasan seperti
orang-orang memberi alasan. Lalu
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
138
86 Allah
memberkahimu, Anakku.
melihat tanduk dan
menurunkan dari tempatnya. Dan menemukan kantung berisi dinar di dalamnya. Lalu
membawanya ke tempat orang Yahudi.
Auf bertanya pada orang
Yahudi, ‘Apakah Sha’b punya hutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab,
‘Semoga Allah merahmati Sha’b. Dia termasuk sahabat nabi yang utama. Hutangku
kuikhlaskan untuknya.’
Auf mendesak, ‘Katakanlah
padaku berapa dia berhutang padamu?’
Orang Yahudi menjawab,
‘Sepuluh dinar.’
Auf lalu menyerahkan kantong
berisi sepuluh dinar itu pada orang Yahudi. Auf berkata, ‘Ini yang pertama!’
Kemudian Auf kembali menemui
keluarga Sha’b dan bertanya, ‘Apakah ada suatu kejadian di rumah kalian setelah
kematian Sha’b?’
Mereka menjawab, ‘Ya, kucing
kami mati beberapa hari yang lalu!’
Auf berkata, ‘Ini yang
kedua!’
Lantas Auf bertanya, ‘Mana
anak perempuan Saudaraku?’
“Dia sedang bermain.’ Jawab
mereka.
Auf lalu mendatanginya dan
mengusap-usapnya, anak puteri itu ternyata sedang demam. Auf berkata pada
mereka, ‘Berwasiat baiklah untuknya.’ Dan anak perempuan itu meninggal enam
hari kemudian.
Kisah serupa sangat banyak
terjadi di zaman sahabat nabi dan zaman tabiin. Imam Ibnu Abdul Bar yang
mengarang kitab ‘Al Tamhid’ penjelas kitab Muwatta’ Imam Malik menuturkan kisah
tsabit bin Qaish bin Syamas yang mati syahid dan mendatangi Abu Bakar dalam
mimpinya karena punya hutang. Abu Bakar pun menjalankan wasiat Tsabit.
Syaikh Utsman masih menunggu
jawabanku.
“Anakku, apa yang kau dapat
dari Abdullah bin Mas’ud yang mendatangimu. Ceritakanlah pelan-pelan, aku ingin
tahu?’ Syaikh Utsman kembali mengulangi pertanyaannya. Aku lalu menceritakan
semuanya. Syaikh Utsman menitikkan air mata dan berkata, ‘Allah
yubarik fik ya bunayya!’86 Lalu
beliau berpesan agar aku tidak menceritakan mimpi ini kepada siapa-siapa,
kecuali orang-orang yang bisa dipercaya. Mimpi seperti ini tidak semua orang
suka mendengarnya, dan tidak semua orang mempercayainya.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
139
Syaikh
Utsman lalu mengeluarkan botol kecil dari saku jubahnya.
‘Ini aku bawakan air
zamzam. Tidak banyak, namun semoga bermanfaat. Minumlah dengan terlebih dahulu membaca
shalawat nabi dan berdoa minta kesembuhan dan ilmu yang manfaat.’ Ucap beliau.
Aku
belum bisa menggerakkan tanganku. Syaikh Utsman agaknya tahu. Beliau sendiri
yang meminumkan air zamzam itu ke mulutku. Setelah itu beliau berpesan agar aku
memperbanyak istighfar dan shalawat. Agar aku mengikuti semua petunjuk dokter
dan minum obat yang teratur. Aku beberkan semua kecemasanku pada beliau,
terutama tentang kepalaku yang mau dioperasi. Beliau menenangkan diriku. Beliau
minta kepadaku agar besok pagi minta kepada dokter untuk memfoto rontgen sekali
lagi. Jika tidak ada perubahan dan memang harus dioperasi ya harus dijalani.
Beliau akan berdoa semoga Allah memberikan jalan kesembuhan yang lebih mudah.
Beliau mencium keningku seperti seorang kakek mencium cucunya. Setelah itu
memanggil kembali teman-teman untuk masuk. Teman-teman Mesir berusaha
menghibur. Si Mahmoud bercerita tentang Juha yang lucu, aku tersenyum
mendengarnya. Pukul setengah sepuluh Syaikh Utsman dan teman-teman Mesir
pamitan.
Menjelang tidur Himam
datang. Ia bersama Hamim dan Mahmudi. Himam pernah satu bulan satu rumah
denganku di Hayyul Asyir sebelum aku pindah ke Hadayek Helwan. Ia punya buku
pijat refleksi dan suka mencoba-coba pada teman-teman satu rumah yang
kelelahan. Itu pula yang dilakukan Himam terhadapku. Ia menyibak selimut di
kakiku dan mencoba-coba mencari syaraf yang ia rasa ganjil di telapak kaki.
Himam memijat dan aku menahan sakit. Begitu berulang-ulang. Lalu Himam memijit
dengan santai ke seluruh kakiku, sampai aku tertidur.
* * *
Pagi
hari aku merasa badanku lebih enak. Kepalaku lebih ringan. Jam enam pagi, aku
minta Mishbah memberi tahukan pada dokter atau petugas bahwa aku minta dirontgen
ulang. Aku tidak akan menandatangani surat kesediaan operasi sebelum dirontgen
ulang dan hasilnya dilihat kembali dengan teliti.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
140
Dengan senang hati, Dokter Ramzi memenuhi permintaanku. Aku
digeledek ke ruang rontgen. Dua orang perawat mengangkatku ke meja yang
menyatu dengan alat foto berukuran besar itu. Seorang petugas mengepaskan titik
fokus di kepalaku. Aku di foto dalam tiga posisi. Lalu dibawa kembali ke kamar.
Sampai
di kamar sudah ada Maria dan keluarganya. Maria menatapku dengan wajah sedih,
juga Yousef, Tuan Boutros dan Madame Nahed. Mereka tahu kalau pagi ini
aku akan dioperasi maka mereka datang untuk melihatku sebelum masuk ke ruang
operasi. Maria menitikkan air mata ia takut terjadi apa-apa padaku. Aku bilang
pada mereka semua, insya Allah, tidak akan terjadi apa-apa dan aku akan
sembuh seperti sedia kala.
Pukul
setengah sembilan Dokter Ramzi datang dengan wajah cerah. Beliau menyerahkan
hasil rontgen dan membawa kabar gembira, “Entah ini mukjizat atau apa,
gumpalan darah beku di bawah tempurung kepalanya itu telah tiada.” Dokter Ramzi
minta aku mencoba menggerakkan tanganku, meskipun sangat pelan aku bisa. “Tak
perlu operasi, kau akan sembuh seperti sedia kala. Tinggal perawatan medis
secara intensif untuk penyembuhan.”
Aku
mengucapkan syukur berkali-kali kepada Allah atas anugerah ini. Kudengar Tuan
Boutros memuji tuhannya; Bapa, Yesus dan Roh Kudus. Kuminta kepada Saiful dan
Mishbah untuk sujud syukur. Madame Nahed masih melihat foto rontgen.
Dia membandingkan foto pertama dan foto kedua. Bibirnya berdesis, “Mahabesar
kekuasaan Tuhan, ini mukjizat!”
Dokter Ramzi bilang aku
telah melewati masa kritis, dia mengucapkan selamat kepadaku. Sejak itu
keadaanku semakin membaik. Teman-teman mahasiswa Indonesia banyak yang
berdatangan menjenguk. Beberapa staf KBRI yang kenal baik juga menjenguk.
Teman-teman dari Malaysia, Patani dan Singapura juga.
Hari kelima aku sudah
bisa bangkit dari tempat tidur. Aku sudah bisa makan sendiri dengan kedua
tanganku. Dari hari ke hari perkembangan kesehatanku terus membaik. Hari ke
sembilan aku sudah bisa ke toilet sendiri. Hari ke sebelas aku sudah bisa
jalan-jalan keluar kamar, ke taman dan duduk-duduk di sana ditemani Saiful dan
Mishbah. Hari itu juga Rudi, dan Hamdi pulang dari Luxor. Mereka sangat
terkejut dan menyesal tidak berada di sisiku melewati
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
141
masa
kritis. Aku minta kepada Saiful untuk bertanya kapan aku boleh pulang dan
kira-kira biaya semuanya berapa? Saiful memberi tahu dua hari lagi bisa pulang
dan biaya semuanya sekitar seribu dua ratus dollar. Aku mengerutkan kening.
Dalam tabunganku hanya ada lima ratus dollar. Aku bertanya mereka berempat ada
uang berapa. Hamdi kosong, tinggal dua puluh lima pound saja. Rudi ada cadangan
seratus dollar. Saiful lima puluh dollar. Dan Mahmoud juga lima puluh dollar.
Berarti semua baru ada enam ratus dollar. Masih kurang enam ratus dollar. Dan
bisa jadi totalannya nanti lebih dari itu. Mau tidak mau harus mencari
pinjaman. Aku minta pada Rudi untuk menemui Pak Jayid Hadiwijaya, Atase
Pendidikan yang baik hatinya, agar meminjam uang secukupnya dari beliau untuk
biaya perawatan rumah sakit. Siang Rudi berangkat, sore kembali dengan membawa
uang seribu dollar.
Pagi hari H aku boleh
pulang ke rumah sakit Saiful mengurusi semua administrasi. Ia kembali ke kamar
dengan wajah heran.
“Mas, biayanya semua
sudah dilunasi seseorang,” lapornya dengan wajah ceria bercampur bingung.
“Siapa yang
melunasinya?” tanyaku heran.
“Pihak rumah sakit
tidak mau menyebutkan namanya,” jawabnya.
Rudi yang bertugas
mencari mobil kembali bersama Tuan Boutros dan keluarganya. “Tak usah repot
cari mobil, kami datang untuk menjemputmu pulang,” demikian Tuan Boutros. Aku
tak menjawab apa-apa. Mereka sangat baik, seperti keluarga sendiri, seperti
bukan orang lain. Aku teringat biaya yang sudah dilunasi, jangan-jangan mereka.
“Sebelum
pulang aku mohon kejujuran kalian. Apakah kalian yang telah melunasi seluruh
biaya perawatan saya?” tanyaku sambil memandang Tuan Boutros dan Madame Nahed
bergantian.
“Tidak.
Bukan kami,” jawab Madame Nahed.
“Kumohon demi kasih Isa
Al Masih, kalian harus berterus terang, aku tidak akan tenang,” desakku.
“Kami
benar-benar tidak melunasinya. Kami memang berniat melunasinya tapi sudah
terlambat. Sudah ada yang mendahului kami. Kukira kalian sendiri yang telah
melunasinya. Kami berkata yang sebenarnya,” terang Madame Nahed.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
142
“Semoga
Allah membalas dia dengan pahala yang tiada hentinya,” lirihku mendoakan orang
yang telah membayar seluruh biaya perawatanku.
* * *
Hari
itu kami pulang ke Hadayek Helwan. Selama perjalanan Madame Nahed
memberi tahu sakit apa aku sebenarnya.
“Dokter
Ramzi mengatakan kau terkena Heat Stroke dan Meningitis sekaligus.
Tapi sekarang sudah sembuh.”
Aku
sudah tahu heat stroke itu apa. Madame Nahed pernah
menerangkannya. Tapi meningitis, aku belum tahu jenis penyakit apa itu.
“Apa itu meningitis, Madame?”
“Meningitis,
adalah penyakit radang selaput otak yang menular disebabkan oleh kuman meningokoccal.
Kuman penyakit ini cepat menular pada suhu tinggi atau rendah. Cara penularan
penyakit Meningitis Meningokoccal adalah melalui kontak langsung,
terkena percikan air ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan dari
tenggorokan penderita penyakit Meningitis Meningokoccal. Tanda-tanda
orang yang terkena meningitis adalah panas mendadak, sakit kepala luar
biasa, kemerahan di kulit dan kaku kuduk. Tapi kau tidak usah kuatir. Kau sudah
sembuh dan terbebas dari kuman meningokoccal. Dokter Ramzi mengatakan
begitu. Kau sudah diterapi dengan pengobatan propilaksis memakai cyproflovacin
terbaik. Yang sekarang harus kau lakukan adalah menjaga kesehatanmu. Jangan
keluar rumah dulu. Jaga kondisi tubuh supaya tetap segar. Istirahat yang cukup
6-8 jam sehari semalam. Jangan menantang panas. Minum yang cukup. Jangan
sekali-kali minum dari kran air minum umum di pinggir jalan seperti
orang-orang, sebab kebersihannya kurang. Gelasnya cuma satu untuk minum
bergantian. Sangat riskan terjadi penularan kuman. Banyak makan buah-buahan
segar seperti anggur, jeruk, apel, mangga, semangka, dan lain sebagainya.” Madame
Nahed memberi penjelasan yang cukup dan sangat berguna bagi diriku.
* * *
Sejak pulang dari rumah
sakit, aku merubah peta hidup yang telah kurancang satu bulan ke depan. Aku
lebih banyak di rumah. Kegiatan menerjemah sementara aku tinggal dulu. Waktuku
kuhabiskan untuk buku-buku
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
143
yang
berkaitan dengan materi penulisan tesis. Syaikh Utsman memberiku izin tidak
ikut mengaji sampai musim panas benar-benar reda.
Aku masih penasaran
siapa yang melunasi biaya rumah sakit itu. Aku dan teman-teman meraba-raba
beberapa kemungkinan.
Saiful menduga yang
membayar Syaikh Utsman, bisa murni dari saku beliau bisa juga beliau
menyalurkan zakat mal para dermawan. Beliau adalah tokoh yang memiliki banyak
koneksi dan akses.
Sedangkan Hamdi
berpendapat yang melunasi mungkin Syaikh Ahmad. Karena beliau dan isterinya
dikenal kaya, dermawan, dan suka menolong orang. Rudi lain lagi, dia menduga
yang melunasi adalah pihak KBRI. Mungkin diam-diam Pak Atase Pendidikan
mengucurkan dana dari anggaran kemasyarakatan.
Mishbah tidak
berpendapat apa-apa, tapi dia berkomentar yang paling tidak mungkin adalah
pendapat Rudi. Bagaimana mungkin Atase Pendidikan mengeluarkan dana untuk biaya
seorang mahasiswa yang sakit sedangkan diminta dana untuk pelatihan ekonomi
Islam saja seretnya bukan main. Itu alasan Mishbah yang sedikit kecewa dengan
KBRI.
Entahlah siapa
sebenarnya dia yang berhati putih itu. Mata hatiku berkata, yang membayar bukan
yang disebut teman-teman itu. Tapi orang lain. Dan orang lain itu adalah orang
yang berhati ikhlas, mengenalku, sangat perhatian padaku, dan aku tidak tahu
siapa dia. Aku tidak bisa menduga sebuah nama. Aku hanya berdoa, agar suatu
saat nanti Allah membuka rahasia siapa malaikat itu sebenarnya. Aku berharap
bisa membalas kebaikannya.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar