17.
Ikatan Suci
Apa
yang terjadi antara diriku dan Nurul adalah tragedi yang sangat memilukan. Aku
tak memungkiri, di dalam taksi selama perjalanan menuju rumah Eqbal Hakan
Erbakan, hatiku menangis. Aku ini siapa? Nurul sungguh terlalu. Apakah dia
bukan orang Jawa? Aku ini orang Jawa. Di Jawa, seorang khadim kiai dan batur
santri, anak petani kere, mana mungkin berani mendongakkan kepala apalagi
mengutarakan cinta pada seorang puteri kiai. Dia sungguh terlalu menunggu hal
itu terjadi padaku. Semestinya dialah yang harus mengulurkan tangannya. Dia
sungguh terlalu berulang kali ketemu tidak sekalipun mengungkapkan perasaannya
yang mungkin hanya membutuhkan waktu satu menit. Atau kalau malu hanya dengan
beberapa baris tulisan tangannya tragedi ini tidak akan terjadi. Menyatakan
cinta untuk menikah di jalan Allah bukanlah suatu perbuatan tercela. Dia
sungguh terlalu. Tapi dia tidak keliru. Dia telah menempuh jalan yang benar.
Dia benar-benar gadis shalihah yang pemalu. Yang terlalu sesungguhnya adalah
Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna. Mereka berdua sungguh terlalu. Atau justru
aku yang terlalu dan begitu dungu.
rinai tangis dalam hatiku
bagai rintik hujan di kota
apa gerangan makna lesu
yang menyusup masuk
kalbuku?94
Sampai di halaman rumah
Eqbal aku melihat tiga mobil mewah berjajar. Rumahnya ada di lantai tiga sebuah
villa mewah tak jauh dari KFC Maadi. Sebelum masuk kuhapus air mata, kutata
hati dan jiwa. Aku berusaha tersenyum. Aku disambut hangat oleh Eqbal dan tiga
lelaki Turki. Rumahnya tidak terlalu ramai. Eqbal memperkenalkan tiga lelaki
Turki yang berpakaian rapi itu.
“Ini Ismael Akhtar,
Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir, ini sekjennya Ali Naar,
sedangkan ini yang baru tiba dari Turki tadi pagi adalah calon pamanmu Akbar
Ali Faroughi, adik kandung ibunya Aisha.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
176
Akbar
Ali yang gagah itu memelukku erat dan berbisik, “Senang memiliki keponakan
seperti dirimu. Aisha sudah banyak bercerita tentangmu padaku. Selamat datang
di keluarga besar Ali Faroughi.”
Di
ruang tamu itu kami berbincang-bincang sambil menunggu Aisha yang sedang
berdandan. Akbar Ali menceritakan silsilah keluarga besarnya agar aku tahu
jelasnya. Ali Faroughi ayahnya dan juga kakek Aisha adalah asli Turki. Beliau
lahir di kota Izmir dari keluarga pedagang kain. Lulus sekolah menengah
langsung diminta ayahnya merantau ke Istambul dan membuka toko kain di sana.
Beliau menuruti anjuran ayahnya. Bakat bisnisnya luar biasa besar. Tokonya maju
pesat sampai akhirnya bisa membuat pabrik tekstil kecil-kecilan. Akhir tahun
1948 beliau menikah di Yordan dengan seorang gadis pengungsi Palestina sebatang
kara yang seluruh keluarganya telah tewas dibantai Israel dan harta kekayaannya
juga dirampas. Gadis Palestina itu beliau bawa ke Istanbul. Enam tahun
kemudian, yaitu tahun 1954, lahirlah anak mereka yang pertama diberi nama Alia
Ali Faroughi. Alia itulah ibu kandung Aisha. Empat tahun kemudian lahirlah
Akbar Ali Faroughi dan jauh setelah itu, lima bekas tahun kemudian baru lahir
Sarah Ali Faroughi yang sekarang menikah dengan Eqbal Hakan Erbakan. Ali
Faroughi adalah pengikut setia Al-Imam Asy-Syaikh Al-Mujaddid Badiuz Zaman
Sa’id An-Nursi. Ali Faroughi wafat pada tahun 1993 pada usia 73 tahun,
meninggalkan tiga buah perusahaan besar. Di antara ketiga anaknya itu yang
paling cerdas dan ulet adalah Alia. Dia selalu terbaik di sekolah menengah. Dia
dokter terbaik lulusan Istanbul University tahun 1976 dan langsung mendapat
beasiswa ke Jerman tahun itu juga. Di Jerman Alia mengambil spesialis jantung.
Setelah tiga tahun di Jerman ia menikah dengan seorang muallaf Jerman namanya
Rudolf Greimas, seorang pemilik swalayan. Tahun 1981 Aisha lahir. Dan tahun
1982 Alia memperoleh gelar doktornya dengan predikat summa cumlaude dan
mengambil keputusan untuk tinggal dan bekerja di Jerman. Yang menyedihkan tujuh
tahun yang lalu, Alia tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di sebuah jalur
cepat yang berada pinggir kota Munchen, meninggalkan Aisha yang masih belia.
Aku baru tahu sebenarnya Aisha telah lama kehilangan seorang ibu.
Kira-kira setengah jam
sebelum azan ashar berkumandang, Sarah Ali Faroughi, memberi tahu semuanya
telah siap. Aku minta tolong pada Eqbal agar
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
177
bisa
melihat wajah Aisha sebelum berangkat. Aku ingin mengisi kembali energi
cintaku. Aku ingin menghilangkan segala galau dan melenyapkan segala pilu yang
masih terasa menyelimuti hatiku. Aku tak mau tragedi Nurul menorehkan noda
dalam hatiku. Aku harus melihat wajah Aisha yang sinarnya akan menerangi semua
kisi dan relung hatiku. Kesejukannya akan menyiram jiwaku.
Eqbal tersenyum padaku
dan menarik lenganku. Dia membawaku masuk ke sebuah kamar di sana hanya ada
tiga perempuan Turki semuanya telah memaki cadar. Eqbal minta agar Aisha
membuka cadarnya. Seorang perempuan yang memakai abaya paling indah perlahan
membuka cadar kuning keemasannya. Perlahan wajah yang bercahaya itu tampak dan
tersenyum padaku. Aku memandangnya lekat-lekat. Aku tersihir oleh pesonanya.
Tanpa sadar hatiku bertasbih dan berpuisi:
alangkah manis gadis ini
bukan main elok dan ayu
calon isteriku
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya
Setelah kurasa cukup,
aku meminta Aisha memakai kembali cadarnya. Kami pun berangkat dengan
menggunakan tiga sedan Mercy. Aku bersama Eqbal dan isterinya. Aisha bersama
pamannya Akbar dan isterinya. Ketua Persatuan Mahasiswa Turki bersama
sekjennya. Selama dalam perjalanan aku lebih banyak mengucapkan istighfar. Aku
berharap saat ini keluarga di Indonesia mengirimkan selaksa doa untukku. Mereka
sudah aku beri tahu detik-detik ini aku akan membuka lembaran hidup baru. Dalam
perjalanan sempat aku keluarkan pertanyaan yang mengganjal pada Eqbal, “Ayah
Aisha, Tuan Rudolf Greimas, bukankah masih hidup. Apakah beliau akan datang?”
“Beliau memang masih
hidup tapi tidak akan datang dan Aisha juga tidak terlalu menginginkan dia
datang. Yang jelas dia sudah tahu puterinya akan menikah dengan mahasiswa
Indonesia. Tentang Rudolf Greimas nanti tanyakanlah sendiri pada Aisha, kenapa
sampai dia tidak mengharapkan kedatangannya,” jawab Eqbal Hakan.
* * *
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
178
Tepat
saat adzan ashar berkumandang kami sampai di masjid tempat akad nikah akan
dilangsungkan. Sudah banyak teman-teman mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Turki
yang sampai di sana. Aisha dan dua bibinya langsung menuju lantai dua tempat
jamaah wanita. Aku menyalami teman-teman. Mereka semua tersenyum dan
mengucapkan selamat padaku. Usai shalat ashar acara akad nikah dimulai.
Acara
dilangsungkan di depan mihrab masjid. Syaikh Ustman, Syaikh Prof.Dr. Abdul
Ghafur Ja’far, Bapak Atdikbud, Eqbal Hakan Erbakan, Akbar Ali dan beberapa
syaikh Mesir yang diundang Syaikh Ustman duduk dengan khidmat tepat di depan
mihrab menghadap ke arah jamaah dan hadirin yang memenuhi masjid. Rupanya saat
shalat Jum’at tadi telah diumumkan akan ada acara akad nikah antara mahasiswa
Indonesia dan muslimah Turki, sehingga orang Mesir yang ada di sekitar masjid
penasaran dan masjidpun penuh. Aku duduk di sebelah kanan Akbar Ali. Di barisan
depan hadirin tampak ketua PPMI dan pengurusnya, teman-teman satu rumah, Syaikh
Ahmad Taqiyyuddin, teman-teman Mesir di program pasca dan Bapak M. Saeful Anam
dari bagian Konsuler KBRI yang akan mencatat kejadian penting ini untuk
mengeluarkan surat nikah resmi. Rudi yang paling suka pegang tustel sibuk
membidikkan kameranya. Dua orang mahasiswa Turki juga sibuk mengabdikan
peristiwa bersejarah ini dengan handycam dan kamera.
Yang menjadi pembawa
acara adalah Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir.
Bahasa Arab fushanya indah. Acara dibuka dengan basmalah dan pembacaan kalam
Ilahi. Lalu sambutan singkat dari keluarga mempelai perempuan yang disampaikan
Eqbal. Sambutan singkat dari keluarga mempelai pria oleh Syaikh Utsman. Barulah
akad nikah. Pihak wali perempuan mewakilkan Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur
Ja’far untuk menikahkan Aisha.
Syaikh Abdul Ghafur
Ja’far, yang tak lain adalah pembimbingku menulis tesis itu maju dan duduk di
tengah lingkaran. Akbar Ali dan Eqbal Hakan menuntunku maju dan duduk di
hadapan Syaikh. Mereka berdua mendampingku. Pak Atdikbud juga maju, duduk di
samping Syaikh sebagai saksi. Ismael Akhtar juga maju sebagai saksi. Saiful
ikut maju membawakan mahar. Aku sempat
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
179
95 Siulan khas wanita Arab sebagai ungkapan
kegembiraan.
96 Semoga berkah
Allah tetap untukmu, dan semoga berkah Allah tetap ke atasmu dan semoga Allah
mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. (Hadits diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad)
melirik ke lantai dua. Aisha
dan kedua bibinya serta ratusan muslimah di sana memandang ke bawah. Ke arah
prosesi sakral ini dilangsungkan.
Sebelum memulai mengakad
Syaikh Abdul Ghafur meminta kepada semua hadirin untuk beristighfar, mensucikan
hati dan jiwa. Lalu meminta kepada semuanya untuk bersama-sama membaca dua
kalimat syahadat. Aku meneteskan air mata, hatiku basah. Aku belum pernah
merasakan suasana sedemikian sakralnya. Syaikh Abdul Ghafur menjabat tanganku
erat, lalu mewakili wali menikahkan diriku dengan Aisha. Dan dengan suara
terbata-bata namun jelas aku menjawab dengan penuh kemantapan hati:
“Qabiltu
nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur, ala manhaji kitabillah wa sunnati
Rasulillah! Aku terima nikah dan kawin dia (Aisha binti Rudolf Kremas)
dengan mahar yang telah disebut, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah
Rasulullah!”
Spontan dari lantai dua
terdengar wanita-wanita Mesir melantunkan zaghrudah95
yang melengking indah. Dan Syaikh Abdul Ghafur membimbing
seluruh hadirin untuk mengucapkan doa yeng telah diajarkan oleh Rasulullah
Saw.:
“Baralallahu laka wa
baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair!”96
Masjid
pun berdengung-dengung oleh doa seluruh hadirin. Hatiku terasa sejuk sekali.
Air mataku terus melelah tiada henti. Aku tiada henti mengucapkan hamdalah dalam
hati. Setelah itu disambung khutbah nikah yang dibawakan Syaikh Ahmad. Khutbah
yang singkat, padat, namun membuat hatiku bergetar hebat. Diakhiri dengan doa
yang dipimpin Syaikh Utsman, doa yang membuat diriku lebur dalam keagungan
tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Selesai
doa, Syaikh Utsman membimbing hadirin untuk melantunkan thalaal badru,
lagu kebahagiaan yang dinyanyikan kaum Anshar saat menyambut kedatangan Nabi
Muhammad Saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq di madinah setelah menempuh perjalanan
hijrah yang panjang dan melelahkan. Para hadirin berdiri, menyalami dan
merangkulku satu persatu sambil membisikkan doa
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
180
barakah diiringi lantunan thalaal badru. Gerimis di
hatiku tidak mau berhenti. Air mata terus saja meleleh. Aku kini telah memiliki
seorang isteri. Subhanallah, wal hamdulillah, wa laa ilaaha illallah, Allahu
akbar!
* * *
Seperti kesepakatan
setelah akad nikah kami tidak langsung zafaf. Malam zafaf adalah setelah
walimah. Dua hari lagi. Sampai rumah teman-teman menggodaku habis-habisan. Aku
tanyakan pada mereka apa sudah bisa menghubungi keluarga Tuan Boutros. Belum
bisa. Tidak enak rasanya jika mereka tidak menghadiri walimah nanti. Meskipun
berbeda agama mereka sudah seperti keluarga sendiri.
Pukul dua belas malam
teman-teman sudah tidur. Tapi aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Aku
ingat banyak hal. Aku menelusuri kembali perjalanan hidupku. Sejak masih SD,
jualan tape. Lalu masuk pesantren menjadi khadim Romo Kiai sambil melanjutkan
sekolah di Tsanawiyah dan Aliyah milik pesantren. Dan akhirnya dengan susah
payah bisa sampai Mesir. Aku menangis sendiri ditemani sepi.
Tiba-tiba
handphone-ku berdering. Kulihat ada yang memanggil. Aisha! Hatiku
berdegup kencang. Aku menyeka air mata dan menata perasaan. Kuangkat:
“Fahri?”
“Ya.”
“Kasihku, aku yakin kau
belum tidur. Kau tidak bisa tidur. Kau pasti sedang memikirkan aku. Ya ‘kan?”
Dan klik. Diputus. Aku belum sempat menjawab.
Aku
gemes sekali padanya. Pada Aisha. Ia menggodaku. Kukirim sms padanya.
Sebab jika kutelpon takut tidak dia angkat. Percuma.
“Aisha, aku sangat merindukanmu.”
Tulisku.
“Aku sudah tahu. Bersabarlah. Allah mencintai
orang-orang yang bersabar.” Jawab Aisha. Aku menghela nafas panjang. Aku ingin shalat
malam.
* * *
Pagi hari, usai shalat
shubuh, di masjid Al Fath Al Islami, seluruh jamaah yang mengenalku mengucapkan
selamat. Rupanya Syaikh Ahmad telah memberi
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
181
tahu
mereka. Dan Syaikh Ahmad mengajakku ke kamarnya di belakang mihrab. Beliau
memberikan kabar bahagia mengenai Noura.
Alhamdulillah
kebenaran itu terkuat juga. Dari tes DNA, gen Noura tidak sama dengan gen Si
Muka Dingin Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima. Gen Noura justru
sama dengan milik suami isteri bernama Tuan Adel dan Madame Yasmin yang
kini jadi dosen di Ains Syam University yang saat itu melahirkan bayinya
bersamaan harinya dengan Madame Syaima. Dan Nadia gadis yang selama ini
mereka besarkan dengan penuh kasih sayang sama gennya dengan Si Muka Dingin
Bahadur dan Madame Syaima. Dua bayi itu tertukar. Noura memang mirip
sekali dengan Madame Yasmin dan Si Nadia mirip dengan Madame Syaima.
Mereka telah menemukan orang tua masih-masing. Noura bahagia dan Nadia
nelangsa. Untungnya Tuan Adel dan Madame Yasmin tetap meminta Nadia
tinggal bersama mereka. Sebab Nadia telah dianggap sebagai anaknya sendiri. Si
Muka Dingin Bahadur sedang diproses atas segala kejahatannya. Mendengar kabar
bahagia itu aku merasa sangat bahagia. Gadis innocent yang lembut itu
akhirnya benar-benar menemukan taman kebahagiaan yang selama ini hilang.
Usai dari masjid aku
mengajak musyawarah teman-teman satu rumah. Tak lama lagi aku akan meninggalkan
mereka. Iuran sewa rumah bulan depan aku bayar sekalian. Jadi mereka tidak
bertambah beban meskipun aku tidak lagi satu rumah dengan mereka. Namun aku
minta tolong kepada mereka agar bulan berikutnya sudah ada yang menggantikan
aku. Teman-teman rela melepaskan aku dan mendoakan semoga hidup bahagia. Mereka
minta agar aku tidak segan dan masih sering main ke Hadayek Helwan. Mereka
bertanya aku akan tinggal di mana. Aku menjawab, “Belum tahu. Semua yang
mengurus isteri tercinta!” Kontan mereka menyahut bareng, “Enaknya punya isteri
gadis Turki yang shalehah seperti Aisha!” Aku tersenyum mendengarnya.
Pukul sembilan Paman
Eqbal—setelah akad nikah aku harus memanggilnya paman—dan tiga mahasiswa Turki
datang kembali dengan pick up. Hendak mengangkut semua barangku yang tersisa.
Dia belum juga mau mengatakan rumah yang akan kami tempati itu di mana. “Nanti
kau akan tahu juga!” jawabnya enteng.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
182
Hari berikutnya adalah pesta walimatul ursy di Darul
Munasabat Masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Sejak ashar aku telah berada di
rumah mahasiswa Turki yang telah berkeluarga di Hadidar Toni Street. Namanya
Subhan Tibi. Isterinya bernama Laila Belardi. Mereka teman baik Paman Eqbal dan
Bibi Sarah. Di rumah mereka yang letaknya kira-kira satu kilometer dari lokasi
walimah, aku dan Aisha dirias ala pengantin Turki. Aisha benar-benar seperti
bidadari. Tapi elok wajahnya tersembunyi di balik cadar tipis keemasan. Dan
inilah untuk pertama kali kami duduk bersanding di dalam mobil mewah. Selama
dalam perjalanan menuju tempat walimah aku tak berani menyentuhnya.
Kelihatannya Aisha gemes melihat ketidakberanianku. Ia meletakkan tangannya di
atas telapak tanganku. Dengan ragu-ragu aku memegang tangannya. Dan hatiku
berdesir hebat. Itulah untuk pertama kalinya aku memegang tangan halus seorang
gadis.
Pesta
walimah sangat meriah. Di mulai tepat setelah ashar. Ada panggung di depan.
Tempat lelaki dan wanita di pisah dengan satir. Pengantin lelaki berbaur dengan
undangan lelaki dan pengantin wanita berbaur bersama pengantin wanita. Panggung
yang indah itu rupanya untuk hiburan. Tim Shalawat Turki menunjukkan
kebolehannya. Juga tim nasyid Indonesia. Ada juga pantomim, sumbangan dari
teman-teman KSW. Tadzkirah di sampaikan oleh Dr. Akram Ridha, pakar
psikologi yang juga seorang dai terkemuka di Kairo. Semua berjalan dengan
sangat mengesan bagi siapa saja yang hadir malam itu.
Setelah acara berakhir,
dan tamu undangan telah banyak yang pulang, Paman Eqbal membawaku ke tempat
pengantin wanita. Di sana ternyata ada pelaminan yang telah dihias indah. Aisha
sudah duduk manis duduk di sana. Aku diminta untuk duduk di sampingnya untuk
diabadikan dalam foto dan video.
Aisha minta dipangku
dan disuapi kue. Lalu minta dibopong dan digendong. Ia juga minta difoto dalam
gaya-gaya dansa. Ada-ada saja. Ia sangat mesra dan manja. Tapi ia sangat tahu
menjaga diri, ia tidak minta dicium saat itu. Kemesraan kami yang tak lama itu
tidak ada yang melihat kecuali beberapa muslimah, Paman Eqbal dan Paman Akbar
Ali. Saat adzan maghrib berkumandang dari menara masjid. Aku dan Aisha telah
berada di dalam Limousin meluncur menuju tempat untuk malam zafaf. Menjadi
sopir kami adalah Paman Eqbal Hakan Erbakan, isterinya Sarah duduk disampingnya
dengan si
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
183
kecil
Hasan di pangkuannya. Di belakang kami mobil Paman Akbar Ali membuntuti. Ia
bersama isterinya dan si kecil Amena. Selama dalam perjalanan kami diam tanpa bicara
apa-apa namun tangan kami erat berpegangan.
Mobil kami terus
melaju. Lampu-lampu telah menyala seperti bintang-bintang. Langit merah
bersemburat indah. Mobil melaju diatas jalan layang yang membelah Ramsis. Terus
ke Barat. Apakah Paman Eqbal akan membawa kami ke hotel? Aku tidak tahu. Semua
mahasiswa Indonesia yang menikah di Cairo tidak ada yang menghabiskan malam
pertama di hotel. Semuanya menghabiskan malam pertama di rumah kontrakan yang
sederhana. Di depan sudah tampak sungai Nile. Kami melewati Ramses Hilton.
Mobil terus melaju. Aisha menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku merasakan
suasana yang sangat indah. Kami berada di atas Jembatan 6th Oktober yang
menyeberangi sungai Nil. Restauran dan nigh club terapung telah menyalakan
lampunya. Di depan sana agak ke selatan di tengah daratan seperti pulau di
tengah sungai Nil tampak Cairo Tower menjulang tinggi. Daratan yang dikelilingi
sungai Nile itu disebut daerah El-Zamalik. Kawasan yang sangat elite dan indah.
Eqbal membelokkan mobil dan turun dari jembatan ke El-Gezira Street. Kami
berada di daerah El-Zamalik. Mobil terus berjalan ke utara menyusuri pinggir
sungai Nil. Melewati Cairo Marriot Hotel. Melewati Kedutaan Swedia. Akhirnya
sampai di Muhamad Mazhar Steet. Di sebuah gedung bertingkat dua belas yang
berada tepat di pinggir sungai Nile kami berhenti.
Paman Eqbal membawa
kami masuk. Di dalam gedung dekat tangga naik dan lift ada dua penjaga berdasi
dan membawa senapan otomatis. Paman Eqbal berbincang dengan mereka sebentar
lalu menarik lenganku.
“Ini saudara saya,
Fahri Abdullah dari Indonesia, dia nanti yang akan menempati flat nomor 21
bersama isterinya. Mereka berdua akan menggantikan Mr. Edward Minnich yang
telah pindah bulan yang lalu.”Kata Paman Eqbal memperkenalkan diriku. Dua
penjaga itu tersenyum dan menjabat tanganku sambil berkata, “Selamat datang di
apartemen ini pengantin baru!” Penampilanku dan Aisha memang mudah sekali
ditebak.
Kami lalu masuk lift
dan naik ke lantai tujuh. Tiap lantai ada tiga flat. Flat nomor, 19, 20 dan 21 berada
dalam satu lantai. Paman Eqbal membuka pintu flat
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
184
nomor
21. Kami masuk. Paman Eqbal menyalakan lampu. Dan tampaklah sebuah ruangan tamu
yang mewah. Lebih mewah dari rumah Bapak Atase Pendidikan di Dokki. Kami duduk
di sofa yang empuk. Tak lama kemudian Paman Akbar Ali dan isterinya masuk.
Mereka langsung duduk.
“Gimana pengantin baru,
kalian sudah siap?” tanya Paman Eqbal sambil tersenyum.
Aku diam tidak menjawab
kecuali dengan senyum.
“Baiklah Fahri, kau
berbahagialah malam ini bersama isterimu. Kami tidak akan lama-lama di sini.
Ini kuncinya peganglah. Dua penjaga itu yang hitam namanya Hosam dan yang
kuning namanya Magdi. Kau sudah lama di Mesir jadi kau tidak akan asing berada
di sini. Jika ada apa-apa telpon aku. Kami pamit dulu. Semoga umur kalian penuh
berkah.” Pamit Paman Eqbal sambil berdiri dari duduknya.
“Aisha dan kau Fahri,
kami juga pamit. Malam ini juga kami akan terbang ke Istanbul. Sudah tiga hari
kami di sini. Nanti kalau ada waktu kami akan mengunjungi kalian,” kata Akbar
Ali Faraughi, paman Aisha. Aisha memeluk pamannya dengan mata berkaca-kaca.
Lalu gantian aku memeluknya, dan dia berbisik, “Jaga dia baik-baik Fahri, aku
percaya padamu!”
“Insya Allah, paman.
Doanya. Salam buat seluruh keluarga di Turki.” jawabku. Kulihat Aisha lalu
berpelukan dengan Elena Hashim, isteri Akbar Ali. Setekah itu ia memeluk
bibinya, Sarah Ali Faraughi dengan tangis pecah.
“Aisha kau sudah hidup
di dunia baru. Kuatkanlah dirimu dengan takwa. Minta tolonglah kepada Allah
dengan shalat dan kesabaran. Dan layanilah suamimu dengan sebaik-baiknya. Ridha
suamimu adalah surgamu,” suara Bibi Sarah terdengar parau.
Mereka
lalu beranjak keluar. Satu persatu meninggalkan pintu. Kami mengantar sampai di
pintu. Terakhir Paman Eqbal memeluk diriku sambil berkata, “Fahri, kau tentu
ingat pelajaran hadits di kuliah, Rasulullah bersabda, ‘Orang pilihan di
antara kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.’
Kumohon, muliakanlah isterimu. Bawalah dia hidup di jalan yang diridhai Allah!’
“Insya
Allah, doakanlah kami,” jawabku.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
185
97 Sebagaimana
terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Ibnu Majah, Abu Daud, dan
Ibnu Sinni.
Tak lama kemudian mereka
hilang di telah pintu lift. Kami masuk kembali ke dalam flat dan menutup pintu.
* * *
Mereka telah pergi
meninggalkan kami berdua. Kami salah tingkah. Wajah Aisha merona. Tubuhku panas
dingin. Kami merasa sama-sama canggung mau berbuat apa. Tapi kami merasa itulah
indahnya.
“Kita belum shalat maghrib,”
lirih Aisha. Ia masih berdiri tak jauh di depanku dengan wajah menunduk. Aku
tersadar, waktu sudah mepet, aku harus segera memberanikan diri melakukan
sesuatu. Ada sunnah Rasulullah yang harus aku amalkan ketika untuk pertama
kalinya berada dalam satu kamar atau satu rumah dengan pengantinku. Aku
bergerak mendekati Aisha dan menggamit tangannya.
“Kamar kita di mana,
Sayang?” tanyaku pelanku.
“Sini,” jawab Aisha sambil
melangkah ke sebuah kamar.
Pintu kubuka. Gelap. Lampu
kunyalakan, tampaklah kamar pengantin yang berhias indah, wangi dan sangat
romantis. Kuajak Aisha duduk di ranjang. Aku membaca basmalah dengan segenap
penghayatan akan ke-MahaRahman-an dan ke-Maharahim-an Allah. Lalu kupegang
ubun-ubun kepala Aisha dengan penuh kasih sayang sambil berdoa seperti yang
diajarkan baginda Nabi,
“Allaahumma,
inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a’udzubika min syarriha wa
syarri ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan
kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan
kejahatan wataknya. Amin.”97
Kulihat
Aisha memejamkan kedua matanya dan dari mulutnya terdengar amin..amin..amin,
berkali-kali. Ia sudah mengerti bagaimana memasuki malam zafaf agar pernikahan
penuh berkah. Setelah itu kulanjutkan dengan doa yang diriwayatkan oleh Imam
Nawawi dalam kitabnya Al Adzkaar,
“Baarakallaahu
likulli waahidin minna fi shaahibihi. Semoga Allah membarakahi
masing-masing di antara kita terhadap teman hidupnya.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
186
Lalu
kukecup ubun-ubunnya sambil menangis dan mengulang doa itu berkali-kali. Aisha
terus mengucapkan amin..amin..amin, dengan air mata meleleh di pipinya.
Barulah kuajak Aisha
untuk mengambil air wudhu dan shalat maghrib berjamaah. Setelah shalat maghrib
membaca dzikir, shalat sunnah ba’diyah, membaca wirid dan doa rabithah.
Menjelang Isya kuajak Aisha untuk shalat sunnah bersama sebagaimana dilakukan
salafush shalih, agar pernikahan kami ini penuh barakah. Selesai shalat aku
membaca doa sebagaimana diajarkan baginda nabi dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud,
“Allaahumma
baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allaahumma ijma’ bainana ma jama’ta
bikhair, wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah, barakahilah
bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku. Ya Allah,
kumpulkan antara kami apa yang engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan
antara kami jika engkau memisahkan menuju kebaikan. Amin.”
Di belakangku Aisha
khusyu mengucapkan amin..amin..amin, kabulkan ya Allah, kabulkan ya Allah,
kabulkan ya Allah, dengan rahmat dan kasih-Mu.
Usai shalat dan berdoa
aku berbalik menghadap Aisha, aku hendak mengelus kepalanya. Aisha malah
mencium tanganku sambil terisak-isak. Adzan Isya berkumandang. Kupegang kepala
Aisha dengan kedua tanganku. Kupandangi lekat-lekat wajahnya yang jelita.
Kuseka air mata yang melelah di pipinya.
“Fahri, aku
mencintaimu.” Ia mengucapkannya dengan penuh kesungguhan.
“Aku juga mencintaimu,
Aisha,” jawabku sambil mengecup keningnya penuh cinta.
“Kecupan pertama yang
tak akan pernah kulupa,” lirih Aisha.
“Aisha, cinta Tuhan
memanggil-manggil kita. Saatnya shalat Isya. Aku ke masjid dulu untuk shalat
berjamaah. Kau shalat di rumah saja ya. Dalam suasana seperti apapun shalat
fardhu adalah utama.”
Dia mengangguk.
“Tapi selesai shalat
langsung pulang. Jangan lama-lama di masjid. Shalat sunnahnya di rumah saja.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar