27.
Diary Maria
Hari
berikutnya, pagi-pagi sekali, Tuan Boutros dan Madame Nahed datang. Aku
sama sekali tidak menyangka mereka akan datang menjenguk dan mengucapkan
selamat hari raya. Ternyata maksud kedatangan mereka tidak semata-mata
berkunjung. Tuan Boutros berkata, “Kedatangan kami berdua kemari mau minta
pertolonganmu sekali lagi untuk kesembuhan Maria.”
“Aku tidak mengerti
maksud Tuan. Apa yang bisa aku lakukan dalam keadaan seperti ini?” jawabku.
“Kaset
rekaman suaramu itu bisa menyadarkan Maria beberapa menit. Begitu sadar ia
menanyakan dirimu. Ia terus menanyakan dirimu sampai tak sadarkan diri kembali.
Dokter ahli syaraf yang menanganinya meminta agar bisa mendatangkan dirimu
beberapa saat untuk menyadarkan Maria. Dengan suara dan dengan sentuhan
tanganmu ada kemungkinan Maria bisa sadar. Dan ketika mendapatkan dirimu berada
di sisinya, dia akan memiliki semangat hidup kembali. Maria itu ternyata persis
seperti ibunya yang tidak mudah jatuh cinta. Namun sekali jatuh cinta dia bisa
melupakan sama sekali orang yang dicintainya. Madame Nahed ini dulu juga
sakit seperti Maria sekarang, cuma tidak separah Maria,” kata Tuan Boutros.
“Tolonglah
Anakku, aku tak mau kehilangan Maria. Aku sudah pernah mengalami apa yang
dialami Maria. Hanya suaramu, sentuhanmu dan kehadiranmu di sisinya yang akan
membuat dirinya kembali memiliki cahaya hidup yang telah redup,” desak Madame
Nahed.
“Kalau hanya
memperdengarkan suaraku padanya, insya Allah aku bisa. Tapi kalau sampai
menyentuhnya aku tidak bisa. Anda tentu sudah tahu kenapa? Tapi bagaimana aku
bisa melakukan itu sementara aku berada di dalam penjara. Apakah akan rekaman
lagi?” jawabku.
“Kami akan minta izin
kepada pihak kepolisian untuk membawamu ke rumah sakit beberapa saat lamanya
dengan jaminan,” kata Tuan Boutros.
“Semoga bisa,” sahutku
pelan.
Keduanya lalu keluar.
Aku menunggu di ruang tamu penjara dengan penuh harap berdoa mereka diizinkan
membawaku ke rumah sakit menemui
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
280
Maria.
Dan semoga aku bisa menyadarkan Maria sehingga nanti dia bisa menjadi saksi
dalam persidangan penentuan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan. Entah
bagaimana diplomasi mereka pada pihak kepolisian dan jaminan apa yang mereka
berikan akhirnya mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit sampai maghrib tiba.
Saat azan maghrib berkumandang aku harus sudah berada di dalam penjara lagi.
Borgolku dilepas. Aku melihat jam dinding yang ada di ruangan itu. Baru pukul
setengah delapan pagi. Maghrib sekitar pukul lima empat lima. Ada waktu sembilan
jam setengah. Semoga waktu yang ada itu cukup untuk membantu Maria.
Tuan
Boutros dan Madame Nahed membawaku ke mobil mereka. Aku heran, sama
sekali kami tidak dikawal. Apa mereka tidak takut aku akan melarikan diri. Aku
tanyakan hal itu pada Tuan Boutros. Beliau menjawab, “Jika kau lari maka kami
sekeluarga akan mati. Kami sekeluarga yang menjadi jaminanmu.”
“Apa Tuan tidak kuatir
aku akan melarikan diri?” tanyaku.
“Aku sudah mengenal
siapa dirimu. Kau bukan seorang pengecut yang akan melakukan hal itu,” jawab
Tuan Boutros mantap.
“Terima kasih atas
kepercayaannya,” tukasku.
Rumah
sakit tempat Maria dirawat adalah rumah sakit tempat aku dulu dirawat. Begitu
sampai di sana Madame Nahed yang juga seorang dokter langsung meminta
temannya untuk memeriksa kesehatanku. Aku sempat minta pada Madame Nahed
menghubungi Aisha yang tinggal di rumah paman Eqbal yang tak jauh dari rumah
sakit. Seorang dokter memeriksa tekanan darahku dan lain sebagainya dengan
proses yang cepat. Dia minta aku mandi dengan air kemerahan yang telah
disiapkan seorang perawat. Lalu salin pakaian rumah sakit. Aku mandi dengan
cepat. Setelah itu aku disuntik. Barulah aku diajak ke kamar di mana Maria
tergeletak seperti mayat. Aku tak kuasa menatapnya. Maria yang kulihat itu
tidak seperti Maria yang dulu. Ia tampak begitu kurus. Mukanya pucat dan layu.
Tak ada senyum di bibirnya. Matanya terpejam rapat. Air matanya terus meleleh.
Entah kenapa tiba-tiba mataku basah. Seorang dokter setengah baya memintaku
untuk berbicara dengan suara yang datang dari jiwa agar bisa masuk
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
281
ke
dalam jiwa Maria. “Ini penyakit cinta, hanya bisa disembuhkan dengan
getaran-getaran cinta,” katanya padaku.
Aku duduk di kursi
dekat Maria berbaring. Mulutku tak jauh dari telinga Maria. Aku
memanggil-manggil namanya. Menyuruhnya untuk membukakan mata. Aku bercerita dan
lain sebagainya. Satu jam sudah aku berbicara tapi Maria tetap tidak sadar
juga. Dokter setengah baya mengajakku bicara. Dia minta agar aku mengucapkan
kata-kata yang mesra, kata-kata pernyataan cinta pada Maria sambil
memegang-megang tangannya atau menyentuh keningnya.
Kujawab, “Maafkan
diriku atas ketidakmampuanku melakukan hal itu. Aku tidak mungkin menyatakan
cinta dan menyentuh bagian tubuh seorang wanita, kecuali pada isteriku saja.”
“Tolonglah, lakukan itu
untuk merangsang syarafnya dan membuatnya sadar. Kau harus mengatakan dan
melakukan sesuatu yang memiliki efek pada syaraf dan memorinya. Dan lebih dari
itu pada jiwanya. Utarakanlah rasa cintamu padanya, mungkin itu akan
menolongnya.”
“Aku tidak bisa
melakukannya. Aku tidak menyesal.”
“Ini tidak sungguhan.”
“Aku harus bersikap
bagaimana? Aku tidak bisa melakukan hal itu, juga tidak bisa untuk melakukan
suatu kebohongan. Bagaimana jika aku mengungkapkan rasa cinta lalu dia sadar.
Kemudian dia tahu aku membohonginya apakah itu bukan suatu penyiksaan yang
kejam padanya?”
Dokter
setengah baya diam. Ia lalu keluar dan beranjak keluar untuk berbicara pada
Tuan Boutros dan Madame Nahed. Aku duduk terpekur dalam ketermanguan.
Lakon hidup ini kenapa begitu rumit? Aku melihat bibir Maria bergetar menyebut
sebuah nama. Hatiku berdesir. Yang ia sebut adalah namaku. Aku menjawab dengan
menyebut namanya tapi ia tidak juga membuka matanya. Ingin aku
menggoyang-goyang tubuhnya agar ia sadar, agar ia tahu aku ada di dekatnya tapi
itu tak mungkin aku lakukan. Tuan Boutros mengajakku berbicara enam mata dengan
Madame Nahed di sebuah ruangan. Tuan Boutros menyerahkan sebuah agenda
berwarna biru.
“Fahri, ini agenda
pribadi Maria. Tempat ia mencurahkan segala perasaan dan pengalamannya yang
sangat pribadi yang terkadang kami tidak
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
282
mengetahuinya.
Termasuk cintanya padamu yang luar biasa. Kami tidak pernah menyalahkanmu dalam
masalah ini. Sebab kamu memang tidak bersalah. Kamu tidak pernah melakukan
tindakan yang tidak baik pada Maria. Kami juga tidak bisa menyalahkan Maria.
Bacalah beberapa halaman yang telah kami tandai itu agar kau mengetahui
bagaimana perasaan Maria terhadapmu sebenarnya,” kata Tuan Boutros.
Aku menerima agenda
pribadi Maria itu dan membaca pada halaman-halaman yang telah ditandai dengan
sedikit dilipat ujung atas halamannya.
Kubuka lipatan 1:
Senin, 1 Oktober 2001,
pukul 22.25
Sudah dua tahun dia dan
teman-temannya tinggal di flat bawah. Kamarnya tepat dibawah kamarku. Aku tak
pernah berkenalan langsung dengannya, tapi aku mengenalnya. Aku tahu namanya
dan tanggal lahirnya. Yousef banyak bercerita tentang dirinya dan
teman-temannya. Setiap Jum’at pagi dia dan teman-temannya bermain sepak bola di
lapangan bersama Yousef dan anak-anak muda Hadayek Helwan. Mereka semua
mahasiswa Al Azhar dari Indonesia yang ramah dan menghormati siapa saja. Kata
Yousef yang paling ramah dan dewasa adalah dia. Bahasa ‘amiyah dan fushanya
juga paling baik di antara keempat orang temannya.
Ayah pernah dibuat
terharu oleh sikapnya yang tidak mau merepotkan dan menyakiti tetangga.
Ceritanya suatu hari ayah menagih iuran air ke tempatnya. Ternyata ia sedang
tidak enak badan dan istirahat di kamarnya. Teman-temannya mengajak ayah masuk
ke kamarnya. Di dalam kamarnya ada sebuah ember untuk menadah air yang menetes
dari langit-langit. Ayah langsung tahu bahwa tetesan air itu berasal dari kamar
mandi kami. Karena kamilah yang tepat berada di atasnya. Dan letak kamar mandi
memang berada di samping kamarku. Ayah bertanya padanya,
“Sudah berapa lama air
ini merembes dan menetes di kamarmu?”
“Satu bulan?”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
283
“Kenapa
kau tidak bilang kepadaku kalau ada ketidakberesan di kamar mandi kami dan
merembes ke tempatmu?”
“Nabi kami mengajarkan
untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda, ‘Siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya!’ Kami tahu kerusakan itu perlu
diperbaiki. Dan perbaikan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena
lantai rumah Anda adalah langi-langit rumah kami, maka biaya perbaikan itu
tentunya kita berdua yang menanggungnya. Kebetulan kami tidak punya uang. Kami
menunggu ada uang baru akan memberitahu Anda. Jika kami langsung memberitahu
Anda kami takut akan akan merepotkan Anda. Dan itu tidak kami inginkan.”
Mendengar jawaban itu
hati ayah sangat tersentuh dan terharu. Ayah terharu atas kesabaran dia selama
satu bulan. Ada air menetes di langit-langit kamar tentu sangat mengganggu
kenyamanan. Ayah juga terharu akan kedewasaannya dalam merasa bertanggung
jawab. Ayah merasa mendapat teguran. Bagaimana tidak? Setengah tahun sebelumnya
ada air menetes di langit-langit kamar mandi kami. Berarti kamar mandi penghuni
rumah atas kami tidak beres. Ayah dengan tegas langsung meminta orang atas
memperbaikinya tanpa memberi bantuan finansial sedikit pun. Sebab ayah merasa
itu sepenuhnya tanggung jawab orang atas. Sejak itu kekaguman ayah padanya dan
pada teman-temannya sering ayah ungkapkan. Dan sejak kejadian itu aku jadi
penasaran ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
Sudah dua tahun dia tinggal
di bawah dan aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Seringkali kami bertemu
tak sengaja di jalan, di halaman apartemen, di gerbang, atau di tangga. Tapi
kami tak pernah bertegur sapa. Dia lebih sering menunduk. Jika tanpa sengaja
beradu pandangan saat bertemu denganku dia cepat-cepat menunduk atau
mengalihkan padangan. Dia bersikap biasa. Tidak tersenyum juga tidak bermuka
masam. Akhirnya tadi siang saat aku pulang dari kuliah aku bertemu dia di dalam
metro. Dia juga dari kuliah. Aku memberanikan diri untuk menyapanya dan
mengajaknya bicara. Sebab rasa-rasanya rasa penasaranku ingin tahu sendiri
keindahan pribadinya seperti yang sering diceritakan Yousef dan ayah tidak
dapat aku tahan lagi. Aku menyapanya dengan tersenyum dan dia pun menjawab dengan
baik dan halus. Aku heran pada diriku
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
284
sendiri
bagaimana mungkin aku tersenyum padanya. Aku jarang bahkan bisa dikatakan anti
memberikan senyum pada lelaki yang bukan keluargaku. Aku tidak tahu kenapa aku
memberikan senyumku padanya dan aku tidak merasa menyesal bahkan sebaliknya.
Yang membuatku senang adalah dia ternyata tahu namaku. Saat itu aku ingin
bertanya padanya kenapa selama ini kalau bertemu di jalan atau ditangga tidak
pernah menyapaku. Tapi kuurungkan.
Perbincangan dengannya
tadi siang sangat berkesan di hatiku. Dia memiliki tutur bahasa yang halus dan
kepribadian yang indah. Ia tidak mau aku ajak berjabat tangan. Bukan tidak
menghormati diriku, kata dia, justru karena menghormati diriku. Dia juga bisa
menjadi pendengar yang baik. Sifat yang tidak banyak dimiliki setiap orang. Ia
sangat senang menyimak aku membaca surat Maryam. Kelihatannya ia kaget ada
gadis koptik hafal surat Maryam. Aku bukan gadis yang mudah terkesan pada
seorang pemuda. Tapi entah kenapa aku merasa sangat terkesan dengan
sikap-sikapnya. Dan entah kenapa hatiku mulai condong padanya. Hatiku selalu
bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus yang menyusup ke sana tanpa
aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes
dalam hati. Kurindu setiap pagi.
Lipatan 2:
Minggu, 16 Desember
2001, pukul 21.00
Kenapa aku menangis?
Perasaan apa yang mendera hatiku sekarang?Begitu menyiksa. Aku tak pernah
merindukan seseorang seperti rinduku padanya. Sudah satu bulan aku tidak
melihatnya melintas di halaman apartemen. Sudah satu bulan dia menghilang
membuat hatiku merasa tercekam kerinduan. Yousef bilang Fahri pergi umrah sejak
pertengahan Ramadhan dan sampai sekarang belum juga pulang. Aku merasa memang
telah jatuh cinta padanya. Cinta yang datang begitu saja tanpa aku sadari
kehadirannya di dalam hati.
Lipatan 3:
Sabtu, 10 Agustus 2002
pukul 11.15
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
285
Pulang
dari restoran Cleopatra kugoreskan pena ini. Sebab aku tidak bisa mengungkapkan
gelegak perasaanku secara tuntas kecuali dengan menorehkannya dalam diary ini.
Akhirnya keraguanku
padanya hilang, berganti dengan keyakinan. Selama ini aku ragu apakah dia bisa
romantis. Sebab selama bertemu atau berbicara dengannya dia sama sekali tidak
pernah berkata yang manis-manis. Selalu biasa, datar dan wajar. Dia selalu
tampak serius meskipun setiap kali aku tersenyum padanya dia juga membalas
dengan senyum sewajarnya.
Tapi malam ini, apa
yang dia lakukan membuat hatiku benar-benar sesak oleh rasa cinta dan bangga
padanya. Dia sangat perhatian dan suka membuat kejutan. Kali ini yang mendapat
kejutan indah darinya adalah Mama dan Yousef. Mereka berdua mendapat hadiah
ulang tahun darinya. Meskipun di atas namakan seluruh anggota rumahnya tapi aku
yakin dialah yang merencanakan semuanya. Dia ternyata sangat romantis. Tak
perlu banyak berkata-kata dan langsung dengan perbuatan nyata. Fahri, aku
benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah kau tahu yang terjadi pada diriku?
Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu untuk mengungkapkan semua ini padamu.
Dan ketika kau kuajak dansa tidak mau itu tidak membuatku kecewa tapi malah
sebaliknya membuat aku merasa sangat bangga mencintai lelaki yang kuat menjaga
prinsip dan kesucian diri seperti dirimu.
Lipatan 4:
Minggu, 11 Agustus 2002
pukul 22.00
Aku
sangat cemas memikirkan dia. Dia dia tergeletak keningnya panas. Kata Mama
terkena heat stroke. Kata teman-temannya dia seharian melakukan
kegiatan yang melelahkan di tengah musim panas yang sedang menggila.
Oh, kekasihku sakit
Aku menjenguknya
Wajahnya pucat
Aku jadi sakit dan
pucat
Karena memikirkan
dirinya
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
286
Aku semakin tahu siapa dia. Untuk pertama kalinya aku tadi
masuk kamarnya ikut Mama dan Ayah menjenguknya. Dia seorang pemuda yang ulet,
pekerja keras, dan memiliki rencana ke depan yang matang. Aku masih ingat dia
menyitir perkataan bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang
dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang
sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia
berada di jalan yang mulus!’
Aku merasa tidak salah
mencintai dia. Aku ingin hidup bersamanya. Merenda masa depan bersama dan
membesarkan anak-anak bersama. Membangun peradaban bersama. Oh Fahri, apakah
kau mendengar suara-suara cinta yang bergemuruh dalam hatiku?
Lipatan 5:
Sabtu, 17 Agustus 2002,
pukul 23.15
Aku belum pernah merasakan
ketakutan dan kecemasan sehebat ini? Aku tak ingin kehilangan dirinya. Dia
memang keras kepala. Diingatkan untuk menjaga kesehatannya tidak juga
mengindahkannya. Akhirnya terjadilah peristiwa yang membuat diriku didera
kecemasan luar biasa.
Siang tadi pukul
setengah empat Saiful datang dengan wajah cemas. Minta tolong Fahri dibawa ke
rumah sakit. Fahri tak sadarkan diri. Aku telpon Mama di rumah sakit lalu
bersama Yousef membawa Fahri ke rumah sakit. Aku menungguinya sampai jam
delapan malam. Dan dia belum juga siuman. Ah, Fahri kau jangan mati! Aku tak
mau kehilangan dirimu. Sembuhlah Fahri, aku akan katakan semua perasaanku
padamu. Aku sangat mencintaimu.
Lipatan 6:
Minggu, 18 Agustus
2002, pukul 17.30
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
287
Seolah-olah
akulah yang sakit, bukan dia. Tuhan, jangan kau panggil dia. Aku ingin dia
mendengar dan tahu bahwa aku sangat mencintainya.
Dia tergeletak tanpa
daya berselimut kain putih. Kata Saiful pukul setengah tiga malam dia sadar
tapi tak lama. Lalu kembali tak sadarkan diri sampai aku datang menjenguknya
jam setengah delapan pagi tadi. Kulihat Saiful pucat. Ia belum tidur dan belum
makan. Kuminta dia keluar mencari makan. Aku mengantikan Saiful menjaganya. Aku
tak kuasa menahan sedih dan air mataku. Dia terus mengigau dengan bibir
bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matanya meleleh . Mungkin
dia merasakan sakit yang tiada terkira.
Aku tak kuasa menahan
rasa sedih yang berselimut rasa cinta dan sayang padanya. Kupegang tangannya
dan kuciumi. Kupegang keningnya yang hangat. Aku takut sekali kalau dia mati.
Aku tidak mau dia mati. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak menciumnya.
Pagi itu untuk pertama kali aku mencium seorang lelaki. Yaitu Fahri. Aku takut
dia mati. Kuciumi wajahnya. Kedua pipinya. Dan bibirnya yang wangi. Aku tak
mungkin melupakan kejadian itu. Kalau dia sadar mungkin dia akan marah sekali
padaku. Tapi aku takut dia mati. Saat menciumnya aku katakan padanya bahwa aku
sangat mencintainya. Tapi dia tak juga sadar. Tak juga menjawab.
Pukul
delapan dia bangun dan dia kelihatan kaget melihat aku berada di sisinya. Aku
ingin mengatakan aku cinta padanya. Tapi entah kenapa melihat sorot matanya
yang bening aku tidak berani mengatakannya. Tenggorokanku tercekat. Mulutku
terkunci hanya hati yang berbicara tanpa suara. Tapi aku berjanji akan mencari
waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya padanya. Aku ingin menikah
dengannya. Dan aku akan mengikuti semua keinginannya. Aku sangat mencintainya
seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya. Memang memendam rasa
cinta sangat menyiksa tapi sangat mengasyikkan. Love
is a sweet torment!
Lipatan terakhir:
Jum’at, 4 Oktober 2002,
pukul 23.25
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
288
Aku
masih sangat kelelahan baru pulang dari Hurgada. Baru setengah jam meletakkan
badan di atas kasur aku mendapatkan berita yang meremukredamkan seluruh jiwa
raga. Fahri telah menikah dengan Aisha, seorang gadis Turki satu minggu yang
lalu. Aku merasa dunia telah gelap. Dan hidupku tiada lagi berguna. Harapan dan
impianku semua lenyap. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku kecewa pada
hari-hari yang telah kujalani. Andaikan waktu bisa diputar mundur aku akan
mengungkapkan semua perasaan cintaku padanya dan mengajaknya menikah sebelum
dia bertemu Aisha. Aku merasa ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa
didampingi seorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati saja. Aku
ingin mati saja. Aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. Aku akan
menunggunya di surga.
Air mataku tak bisa
kubendung membaca apa yang ditulis Maria dalam diary pribadinya. Aku
cepat-cepat menata hati dan jiwaku. Aku tak boleh larut dalam perasaan haru dan
cinta yang tiada berhak kumerasakannya. Aku sudah menjadi milik Aisha. Dan aku
harus setia lahir batin, dalam suka dan duka, juga dalam segala cuaca.
“Hanya
kau yang bisa menolongnya Anakku. Nyawa Maria ada di tanganmu,” ucap Madame Nahed
pelan dengan air mata meleleh di pipinya.
“Bukan aku. Tapi
Tuhan,” jawabku.
“Ya. Tapi kau
perantaranya. Kumohon lakukanlah sesuatu untuk Maria!”
“Aku sudah melakukannya
semampuku.”
“Lakukanlah seperti
yang diminta dokter. Tolong.”
“Andai
aku bisa Madame, aku tak bisa melakukannya.”
“Kenapa?”
“Aku sudah katakan
semuanya pada dokter.”
“Kalau begitu nikahilah
Maria. Dia tidak akan bisa hidup tanpa dirimu. Sebagaimana aku tidak bisa hidup
tanpa Boutros.”
“Itu juga tidak mampu
aku lakukan. Aku sangat menyesal.”
“Kenapa Fahri? Kau
tidak mencintainya? Kalau kau tidak bisa mencintainya maka kasihanilah dia.
Sungguh malang nasibnya jika harus mati
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
289
dalam
keadaan sangat sengsara dan menderita. Kasihanilah dia, Fahri. Kumohon demi
rasa cintamu pada nabimu.”
“Masalahnya
bukan cinta atau kasihan Madame.”
“Lantas apa?”
“Aku sudah menikah. Dan
saat menikah aku menyepakati syarat yang diberikan isteriku agar aku menjadikan
dia isteri yang pertama dan terakhir. Dan aku harus menunaikan janji itu. Aku
tidak boleh melanggarnya.”
“Aku
akan minta pada Aisha untuk memberikan belas kasihnya pada Maria. Aku yakin
Aisha seorang perempuan shalihah yang baik hati. Kebetulan itu dia, baru
datang. Kau tunggulah di sini bersama Boutros. Aku mau bicara empat mata dengan
Aisha.” Kata Madame Nahed sambil berjalan menyambut Aisha. Keduanya lalu
berjalan memasuki sebuah ruangan. Entah apa yang akan dikatakan Madame Nahed
pada Aisha. Semoga Aisha tidak terluka hatinya. Dan aku sama sekali tidak punya
niat sedetikpun untuk menduakan Aisha dengan Maria. Aku tidak pernah berpikir
kalau Maria mencintaiku sedemikian rupa.
* * *
Setelah
berbincang dengan Madame Nahed, Aisha mengajakku berbicara empat mata.
Matanya berkaca-kaca.
“Fahri, menikahlah
dengan Maria. Aku ikhlas.”
“Tidak Aisha, tidak!
Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia,
demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak memberikan kesaksiannya maka aku tak
tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan ayah dari anak yang kukandung
ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisha, hidup dan mati
ada di tangan Allah.”
“Tapi manusia harus berusaha
sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan Maria lalu
lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk menyelamatkannya.”
“Aku tak bisa Aisha.
Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau yang pertama dan terakhir bagiku.”
“Kalau kau mencintaiku
maka kau harus berusaha melakukan yang terbaik untuk anak kita. Aku ini
sebentar lagi menjadi ibu. Dan seorang ibu akan
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
290
melakukan
apa saja untuk ayah dari anaknya. Menikahlah dengan Maria. Dan kau akan
menyelamatkan banyak orang. Kau menyelamatkan Maria. Menyelamatkan anak kita.
Menyelamatkan diriku dari status janda yang terus membayang di depan mata dan
menyelamatkan nama baikmu sendiri.”
“Aku mencintai kalian
semua. Tapi aku lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Budak hitam yang muslimah
lebih baik dari yang bukan muslimah. Aku tak mungkin melakukannya isteriku.”
“Aku yakin Maria
seorang muslimah.”
“Bagaimana kau bisa yakin
begitu?”
“Dengan sekilas membaca
diarynya. Jika dia bukan seorang muslimah dia tidak akan mencintaimu sedemikian
kuatnya. Kalau pun belum menjadi muslimah secara lesan dan perbuatan, aku yakin
fitrahnya dia itu muslimah.”
“Aku tidak bisa
berspekulasi isteriku. Aku tidak bisa melakukannya. Dalam interaksi sosial kita
bisa toleran pada siapa saja, berbuat baik kepada siapa saja. Tapi untuk
masalah keyakinan aku tidak bisa main-main. Aku tidak bisa menikah kecuali
dengan perempuan yang bersaksi dan meyakini tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah. Kalau untuk bertetangga, berteman, bermasyarakat
aku bisa dengan siapa saja. Untuk berkeluarga tidak bisa Aisha. Tidak bisa!”
“Suamiku
aku sependapat denganmu. Sekarang menikahlah dengannya. Anggaplah ini ijtihad
dakwah dalam posisi yang sangat sulit ini. Nanti kita akan berusaha bersama
untuk membawa Maria ke pintu hidayah. Jika tidak bisa, semoga Allah masih
memberikan satu pahala atas usaha kita. Tapi aku sangat yakin dia telah menjadi
seorang muslimah. Jika tidak bagaimana mungkin dia mau menerjemahkan buku yang
membela Islam yang kau berikan pada Alicia itu. Itu firasatku. Kumohon
menikahlah dan selamatkan Maria. Bukankah dalam Al-Qur’an disebutkan, Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.?”
Aku diam tidak bisa
bicara apa-apa. Aku tidak pernah membayangkan akan menghadapi suasana
psikologis yang cukup berat seperti ini. Aisha mengambil cincin mahar yang aku
berikan di jari manis tangan kanannya.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
291
“Ini
jadikan mahar untuk Maria. Waktunya sangat mendesak. Sebelum maghrib kau harus
sampai di penjara. Jadi kau harus segera menikah dan melakukan semua petunjuk
dokter untuk menyadarkan Maria.” Kata-kata Maria begitu tegas tanpa ada
keraguan, setegas perempuan-perempuan Palestina ketika menyuruh suaminya
berangkat ke medan jihad. Dengan sedikit ragu aku mengambil cincin itu. Aku tak
bisa menahan isak tangisku. Aisha memelukku, kami bertangisan.
“Suamiku kau jangan
ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa. Yakinlah bahwa kau akan melakukan
amal shaleh,” bisik Aisha.
Setelah
itu aku menemui Madame Nahed dan Tuan Boutros. Mereka berdua menyambut
kesediaanku dengan bahagia. Proses akad nikah dilaksanakan dalam waktu yang
sangat cepat, sederhana, sesuai dengan permintaanku. Seorang ma’dzun syar’i mewakili
Tuan Boutros menikahkan diriku dengan Maria dengan mahar sebuah cincin emas.
Saksinya adalah dua dokter muslim yang ada di rumah sakit itu.
Setelah itu dokter
setengah baya memberikan petunjuk apa yang harus aku lakukan untuk membantu
Maria sadar dari komanya. Aku minta hanya aku dan Maria yang ada di ruang itu.
Aku wudhu dan shalat dua rakaat lalu berdoa di ubun-ubun kepala Maria seperti
yang aku lakukan pada Aisha. Aku hampir tidak percaya bahwa gadis Mesir yang
dulu lincah, ceria dan kini terbaring lemah tiada berdaya ini adalah isteriku.
Segenap perasaan kucurahkan untuk mencintainya. Aku membisikkan ke telinganya
ungkapan-ungkapan rasa cinta dan rasa sayang yang mendalam. Aku lalu
menciuminya seperti dia menciumiku waktu aku sakit. Tapi dia tetap diam saja.
Aku lalu menangis melihat usahaku sepertinya sia-sia. Aku ingin melakukan lebih
dari itu tapi tidak mungkin. Aku hanya bisa terisak sambil memanggil-manggil
nama Maria.
Tiba-tiba aku melihat
sujud mata Maria melelehkan air mata. Aku yakin Maria mulai mendengar apa yang
aku katakan. Aku kembali menciumi tangannya. Lalu mencium keningnya. “Maria,
bangunlah Maria. Jika kau mati maka aku juga akan ikut mati. Bangunlah
kekasihku! Aku sangat mencintaimu!” kuucapkan dengan pelan di telinganya dengan
penuh perasaan.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
292
Kepalanya
menggeliat, dan perlahan-lahan ia mengerjapkan kedua matanya. Aku memegang
kedua tanganya sambil kubasahi dengan air mataku.
“F..f..Fahri..?”
“Ya, aku di sisimu
Maria.”
Entah mendapatkan
kekuatan dari mana, Maria bisa bicara meskipun dengan suara yang lemah,
“Aku mendengar kau
berkata bahwa kau mencintaiku, benarkah?”
“Benar. Aku sangat
mencintaimu,Maria?”
“Kenapa kau pegang
tanganku. Bukankah itu tidak boleh?”
“Boleh! Karena kau
sudah jadi isteriku.”
“Apa?”
“Kau sudah jadi
isteriku, jadi aku boleh memegang tanganmu?”
“Siapa yang menikahkan
kita?”
“Ayahmu. Apa kau tidak
mau jadi isteriku?”
Mata Maria
berkaca-kaca, “Itu impianku. Aku merasa kita tidak akan bisa menikah setelah
kau menikah dengan Aisha. Terus bagaimana dengan Aisha?”
“Dia yang mendorongku
untuk menikahimu. Ini cincin yang ada di tanganmu adalah pemberian Aisha.
Anggaplah dia sebagai kakakmu.”
“Aku tak menyangka
Aisha akan semulia itu.”
“Fahri, aku mau minta
maaf. Saat kau sakit dulu aku pernah men...”
“Aku sudah tahu
semuanya. Tadi saat kau belum bangun aku sudah membalasnya.”
Maria tersenyum. “Aku
ingin kau mengulanginya lagi. Aku ingin merasakannya dalam keadaan sadar.”
Pinta Maria dengan sorot mata berbinar. Aku memenuhi permintaannya. Seketika
wajahnya kelihatan lebih bercahaya dan segar.
“Maria.”
“Ya.”
“Berjanjilah kau akan
mengembalikan semangat hidupmu.”
“Setelah aku menemukan
kembali cintaku maka dengan sendirinya aku menemukan kembali semangat hidupku.
Saat ini, aku merasakan kebahagiaan
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
293
yang
belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa menjadi wanita paling
berbahagia di dunia setelah sebelumnya merasa menjadi wanita paling sengsara.”
Aku melihat jam
dinding. Satu jam lagi aku harus sampai di penjara. Dengan mata berkaca aku
berkata, “Maria, aku keluar sebentar memberitahukan keadaanmu pada dokter, ayah
ibumu dan Aisha.”
Maria
mengangguk. Madame Nahed dan Tuan Boutros sangat berbahagia mendengar
sadarnya Maria. Serta merta mereka berdua melangkah masuk diiringi dokter
setengah baya. Kulihat Aisha duduk sendirian di bangku. Aku mendekatinya dan
duduk di sampingnya. Aisha diam saja. Matanya basah.
“Kau menangis Aisha?”
Aisha diam seribu
bahasa seolah tidak mendengar pertanyaanku.
“Kau menyesal dengan
keputusanmu?”
Dia menggelengkan
kepala.
“Kenapa kau menangis?
Kau cemburu?”
Aisha mengangguk. Aku
memeluknya, “Maafkan aku Aisha, semestinya kau tidak menikah denganku sehingga
kau menderita seperti ini.”
“Kau jangan berkata
begitu Fahri. Menikah denganmu adalah kebahagianku yang tiada duanya. Kau tidak
bersalah apa-apa Fahri. Tak ada yang salah denganmu. Kau sudah berusaha
melakukan hal yang menurutmu baik. Rasa cemburu itu wajar. Meskipun aku yang
memaksamu menikahi Maria. Tapi rasa cemburuku ketika kau berada dalam kamar
dengannya itu datang begitu saja. Inilah cinta. Tanpa rasa cemburu cinta
tiada.”
“Aku takut sebenarnya
aku tidak pantas dicintai siapa-siapa.”
“Tidak Fahri. Kalau
seluruh dunia ini membencimu aku tetap akan setia mencintaimu.”
“Terima kasih atas
segala ketulusanmu Aisha. Aku akan berusaha membalas cintamu dengan
sebaik-baiknya. Aisha, sebentar lagi aku harus kembali ke penjara. Aku belum
menjelaskan keadaanku pada Maria. Kaulah nanti yang pelan-pelan menjelaskan padanya
semuanya. Kau jangan ragu, Maria sangat menghormatimu.”
Aku
lalu masuk ke kamar menemui Tuan Boutros dan Madame Nadia. Aku
mengingatkan keduanya waktuku telah habis. Mata Madame Nadia
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
294
menatapku
dengan berkaca-kaca. Aku pamitan padanya dan mencium tangannya. Dia kini jadi
ibuku. Maria kelihatannya heran dengan yang ia lihat. Tuan Boutros menjelaskan
pada Maria bahwa diriku ada urusan penting sekali. Aku menatap wajah Maria
dalam-dalam. Dia menantapku penuh sayang. Air mataku hendak keluar tapi kutahan
sekuat tenaga.
“Tersenyumlah dulu
sebelum pergi, Sayang.” lirih Maria. Aku tersenyum sebisanya. Maria tersenyum
manis sekali. Aku jadi teringat Aisha. Dua wanita itu memiliki senyum yang sama
manisnya.
“Nanti Aisha akan
menungguimu dan banyak bercerita denganmu. Kau jangan terkejut jika ada hal-hal
yang akan membuatmu terkejut. Aku pergi dulu. Jangan pernah kau lupakan sedetik
pun Maria, bahwa aku sangat mencintaimu. Cintaku kepadamu seperti cintanya
seorang penyembah kepada sesembahannya.”
Aku mengambil kata-kata
yang ditulis Maria dalam agendanya. Maria sangat senang mendengarnya. Seorang
isteri sangat suka dihadiahi kata-kata indah tanda cinta dan kasih sayang.
“Terima kasih Fahri,
kau sungguh romantis dan menyenangkan.”
Aku melangkah keluar
bersama Tuan Boutros untuk kembali ke penjara. Di luar aku memeluk Aisha
erat-erat. Sesaat lamanya aku terisak dalam pelukannya. “Aisha, temani Maria
dan ceritakan semua yang sedang aku alami dengan bijaksana padanya. Aku yakin
kau mampu melaksanakannya. Semoga saat sidang nanti dia bisa memberikan
kesaksiannya.”
“Insya
Allah, aku akan melakukan tugasku dengan baik Suamiku. Jangan lupa nanti
malam shalat tahajjud. Berdoalah kepada Allah untuk dirimu, diriku, anak kita,
dan Maria. Di sepertiga malam Allah turun untuk mendengarkan doa
hamba-hamba-Nya,” pesan Aisha.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
295
Tidak ada komentar:
Posting Komentar