16.
Cobaan
Teladan orang-orang
yang bercinta adalah Baginda Nabi. Cinta sejati adalah cintanya sepasang
pengantin yang telah diridhai Tuhan dan didoakan seratus ribu malaikat penghuni
langit. Tak ada perpaduan kasih lebih indah dari pernikahan, demikian sabda
baginda Nabi.
Setelah melihat Aisha
yang tiada lain adalah calon bidadariku, belahan jiwa yang akan mendampingi
hidupku, tak bisa kupungkiri aku didera rasa cinta yang membuncah-buncah.
Inilah cintaku yang pertama, dan Aisha adalah gadis pertama yang menyentuh
hatiku dan menjajahnya.
Waktu
di Aliyah dulu, aku pernah naksir pada seorang gadis tapi tak pernah sampai
menyentuh hati. Tak pernah sampai merindu dendam. Aku bahkan tak punya
keberanian untuk sekadar menyapanya atau mengingat namanya. Diriku yang saat
itu hanya berstatus sebagai khadim romo kiai, batur para santri,
tak berani sekadar mendongakkan kepala kepada seorang santriwati.
Juga selama di Kairo,
sampai Aisha membuka cadarnya di rumah Syaikh Utsman. Kuakui ada satu nama yang
membuatku selalu bergetar bila mendengarnya, namun tak lebih dari itu. Aku
merasa sebagai seekor punguk dan seluruh mahasiswi Indonesia di Kairo adalah
bulan. Aku tidak pernah berusaha merindukannya. Dan tak akan pernah kuizinkan
diriku merindukannya. Karena aku merasa itu sia-sia. Aku tak mau melakukan hal
yang sia-sia dan membuang tenaga.
Aku lebih memilih
mencurah seluruh rindu dendam, haru biru rindu dan deru cintaku untuk belajar
dan menggandrungi Al-Qur’an. Telah kusumpahkan dalam diriku, aku tak akan
mengulurkan tangan kepada seorang gadis kecuali gadis itu yang menarik
tanganku. Aku juga tak akan membukakan hatiku untuk mencintai seorang gadis
kecuali gadis itu yang membukanya. Bukan suatu keangkuhan tapi karena rasa
rendah diriku yang selalu menggelayut di kepala. Aku selalu ingat aku ini
siapa? Anak petani kere. Anak penjual tape. Aku ini siapa?
aku adalah lumpur hitam
yang mendebu
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
166
92 Surat Ar-Rahman:
70-73.
menempel di sepatu dan
sandal
hinggap di atas aspal
terguyur hujan
terpelanting
masuk comberan
siapa sudi memandang
atau mengulurkan
tangan?
tanpa uluran tangan
Tuhan
aku adalah lumpur hitam
yang malang
Tuhan
telah mengucapkan kun! Lumpur hitam pun dijelma menjadi makhluk yang
dianugerahi kenikmatan cinta yang membuncah-buncah dan rindu yang
berdebam-debam. Seorang bidadari bermata bening telah disiapkan untuknya. Fa
bi ayyi alaai Rabbikuma tukadziban! Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan.
Di dalam surga-surga
itu ada bidadari-bidadari
yang baik-baik lagi
cantik-cantik.
Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan.
Bidadari-bidadari yang
jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.
Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan.92
Belum juga masuk surga,
Tuhan telah begitu pemurah memperlihatkan seorang bidadari yang baik dan
cantik, bidadari yang putih bersih bernama Aisha. Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakan yang kamu dustakan?
Maka
tiada henti menangis kepada Tuhan, merasa terlalu agung anugerah yang
dilimpahkan oleh-Nya kepadaku yang lumpur hitam. Mengiba-iba kepadaNya kiranya
anugerah ini bukan bentuk istidraj, bukan bentuk nikmat yang sejatinya
azab. Dalam sujud tangis di keheningan malam kuisakkan seribu doa dari ratapan
jiwa. Doa Adam, doa Ibrahim, doa Ayyub, doa Ya’qub, doa Daud, doa Sulaiman, doa
Zakariya, doa Muhammad, doa seribu nabi, doa seribu wali,
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
167
dan doa seribu sufi yang telah mereguk cinta hakiki dan
melahirkan sejuta generasi rabbani.
* * *
Dua hari menjelang hari
H, barulah teman-teman satu rumah aku beritahu. Semua urusan di KBRI sudah
selesai. Mahar telah aku beli; seuntai kalung, sebuah cincin dan mushaf mahar.
Aku juga telah membeli satu stel jas yang pantas. Aku meminta kepada
teman-teman untuk mengundang teman-teman terdekat. Tak lebih dari empat puluh
orang. Mohon kesediaan datang di acara akad nikah Jum’at depan, di masjid Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Shubra El-Khaima.
Seperti biasa Rudi
nyeletuk, “Nurul dkk. diundang nggak Mas?”
“Untuk
akadnya tidak usah. Tapi walimahnya ya,” jawabku dengan tegas. Sebagai kabar
gembira kuberitahukan pada teman-teman bahwa Bapak Atase Pendidikan dan
Kebudayaan (Atdikbud) secara khusus telah kuminta untuk menjadi saksi, dan
beliau telah menyatakan kesediaannya. Aku juga minta pada teman-teman untuk
mengundang dua ratus orang. Seratus lima puluh putera dan lima puluh puteri
untuk datang di acara walimatul ‘ursy. Teman-teman satu rumah sepertinya
masih tidak percaya pada apa yang aku kabarkan. Namun mereka mau tidak mau
harus percaya sebab aku tidak pernah main-main untuk urusan serius.
Aku datangi rumah Tuan
Boutros. Kosong.
Saiful
bilang, saat aku dua hari tidak di rumah, Tuan Boutros sekeluarga pergi
rekreasi ke Pantai Hurgada. Dua hari yang lalu aku memang sibuk di Nasr City
membantu teman-teman Turki mempersiapkan segalanya. Aku merasa tidak lengkap
jika sampai pesta walimatul ursy nanti keluarga Tuan Boutros tidak
menyaksikan. Mereka adalah orang terdekat selama tiga tahun ini. Aku mencoba
menghubungi nomor handphone Maria. Jawabannya, nomor yang anda hubungi
sedang berada di luar area! Sedih! Aku minta pada Rudi agar terus mencoba
menghubungi Maria, memberitahukan acara paling bersejarah dalam hidupku ini
pada keluarganya. Mohon mereka bisa datang pada saat pesta walimah.
Yang aku belum bisa
mengerti adalah di manakah nanti aku setelah menikah? Aku telah berusaha
menyewa rumah di Hayyu Tsamin tapi Eqbal tidak mengizinkannya. Katanya rumahnya
telah disiapkan oleh Aisha. Aku ingin tahu rumahnya di mana dan sewanya
perbulan berapa, tapi dia juga tidak mau
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
168
93 Dipetik dari
sajak berjudul ‘Tuhan dan Titahnya’ karya Fatin Hamama.
memberitahukannya, katanya
biar surprise sesuai permintaan Aisha. Yang jelas, kata dia, rumah itu memang
sangat layak untuk tinggal memadu kasih bersama Aisha. Aku pasrah saja, aku
tidak meragukan ketulusan mereka.
Satu hari menjelang akad
nikah Eqbal dan dua orang Turki datang dengan membawa mobil pick up. Dia bilang
akan mengangkut barang-barangku untuk di tata di rumah baru. Aisha yang
memintanya. Komputer, beberapa stel pakaian, dan puluhan jilid buku dan kitab penting
diangkut. Aku tidak boleh ikut.
“Insya
Allah, semuanya akan beres dan aman. Saat ini kau adalah raja yang
tidak boleh susah. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian berdua.
Dan jangan lupa selesai shalat Jum’at kau langsung ke rumahku di Maadi. Kita
akan berangkat ke Shubra bersama,” kata Eqbal yang sebentar lagi harus
kupanggil paman.
Ketika melihat kamarku
yang berubah dan kehilangan banyak isinya aku menitikkan air mata. Waktu terus
berjalan. Manusia tidak bisa menentang perubahan. Tak lama lagi aku akan
meninggalkan kamar tercinta ini. Aku akan meninggalkan teman-teman dan membuka
lembaran hidup baru bersama seorang isteri bernama Aisha.
berjalan di titian
kodrat
(apa yang harus kita
katakan)
jika berharap Dia
menentukan93
* * *
Ketika fajar Jum’at
merekah di ufuk timur, aku berkata dalam hati, “Inilah hariku.” Tiada sabar
rasanya menunggu ashar tiba. Matahari seperti diganduli malaikat. Hari terasa
berat. Waktu sepertinya berjalan begitu lambat.
Usai shalat shubuh
teman-teman telah bersiap. Mereka kubagi tugas. Rudi shalat Jum’at di Masjid
Indonesia menjadi petunjuk jalan bagi Pak Atdikbud. Mishbah ke Wisma Nusantara
menjadi petunjuk jalan bagi bus yang disediakan untuk teman-teman undangan. Jarak
Nasr City-Shubra tidak dekat. Sedangkan Hamdi dan Saiful nanti begitu selesai
shalat Jum’at langsung ke Shubra. Aku sendiri usai shalat Jum’at langsung ke
rumah Eqbal Hakan Erbakan.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
169
Pukul delapan tepat telpon berdering, kukira dari Eqbal.
Ternyata tidak. Dari Ustadz Jalal. Katanya beliau dan isterinya telah sampai di
mahattah metro Hadayek Helwan. Beliau datang untuk membicarakan masalah
yang dulu pernah beliau pesankan melalui Nurul. Kuminta Saiful untuk menjemput
Ustadz Jalal. Aku jadi merasa tidak enak tidak mengundang beliau secara
langsung untuk menghadiri akad nikah. Kutanyakan pada teman-teman apakah
undangan walimah untuk beliau sudah sampai. Tidak tahu, mungkin belum, sebab
undangan itu dititipkan pada Mas Khalid. Dan rencananya Mas Khalid akan
menyampaikannya usai shalat Jum’at nanti. Meskipun terkesan sangat mepet dan
mendadak terpaksa nanti Ustadz Jalal akan kumohon untuk datang ke acara akad
nikah.
Ustadz Jalal dan
ustadzah Maemuna, isterinya, sampai dengan wajah cerah. Mereka datang cuma
berdua, tidak membawa ketiga anak mereka.
“Mana
keponakan-keponakanku Ustadz? Kenapa tidak dibawa serta?” tanyaku basa-basi.
Hamdi datang dengan
nampan berisi tiga gelas teh Arousa panas dan satu piring roti bolu. Entah
dapat bolu dari mana anak itu.
“Sekali-kali
kami ingin bepergian berdua tanpa diganggu anak-anak. Biar bisa sedikit mesra.
Pagi ini kami benar-benar menikmati perjalanan dengan metro. Dari Ramsis
sampai Hadayek Helwan sepi, hawanya juga sejuk,” jawab Ustadz Jalal.
“Mereka ditinggal
sendirian di rumah?” heranku.
“Tidak. Kebetulan Nurul
dan teman-temannya usai shalat shubuh tadi datang ke rumah. Jadi mereka yang
menjaga,” sahut Ustadzah Maemuna.
“O begitu, syukurlah.
Ngomong-ngomong Ustadz dan Ustadzah menyempatkan untuk berkunjung kemari ada
yang bisa saya bantu?” ucapku.
Ustadz Jalal memberi
tahu ada masalah sangat penting dan rahasia yang ingin beliau bicarakan
denganku. Beliau minta tempat yang aman. Kubawa beliau dan Ustadzah Maemuna ke
dalam kamarku yang berantakan. Pintu kututup rapat.
“Kok berantakan begini.
Komputermu dan kitab-kitabmu tidak ada. Mau pindahan nih, atau malah sedang
pindahan?” komentar Ustadz Jalal.
“Nanti
setelah masalah Ustadz selesai akan aku ceritakan, insya Allah. Silakan
Ustadz bicara,” jawabku.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
170
“Kami
berdua datang kemari memohon bantuanmu menyelesaikan suatu masalah serius.
Tidak masalah kami sebenarnya, tapi masalah seseorang yang dekat dengan kami.
Dan yang paling tepat untuk kami minta pertolongan adalah engkau, Fahri. Kami
sangat berharap engkau bisa membantu,” kata Ustadz Jalal.
“Kau
saya diberi kemampuan untuk itu. Insya Allah. Masalah apa itu Ustadz?”
“Ini masalah serius
yang mengancam jiwa Nurul?”
Mendengar hal itu
pikiranku langsung tertuju pada buntut peristiwa Noura bersembunyi di rumah
Nurul. Jangan-jangan Si Muka Dingin Bahadur tahu itu dan memperkarakannya, tapi
kalau itu masalahnya kenapa diriku tidak ikut diperkarakan?.
“Bagaimana jiwa Nurul
bisa terancam Ustadz? Apa yang terjadi padanya, dan apa yang bisa saya lakukan
untuk membantunya?”
“Kau tahu Nurul adalah
puteri tunggal Bapak KH. Ja’far Abdur Razaq, pengasuh pesantren besar di Jawa
Timur. Selain cantik dia juga cerdas dan halus budi. Sejak masih kelas satu
aliyah sudah banyak kiai besar yang melamar Nurul untuk puteranya. Nurul tidak
mau. Ketika akhirnya Nurul belajar di Al Azhar pinangan itu justru semakin
banyak. Kiai Ja’far ayah Nurul berkali-kali menelpon Nurul agar segera
menentukan pilihan pendamping hidupnya. Beliau merasa sangat tidak enak menolak
pinangan terus menerus. Apalagi jika pinangan itu datangnya jadi kiai yang
lebih senior dari beliau atau dari guru beliau. Jika Nurul sudah tunangan atau
menikah dengan seseorang yang dipilihnya tentu kedua orang tua Nurul akan lebih
tenang. Dan jika berjumpa dengan para kiai-kiai di Jawa Timur tidak akan
terbebani oleh sindiran-sindiran halus dari para kiai yang meminang puterinya.
Dua bulan yang lalu ayahnya menelpon ada pinangan dari Kiai Rahmad untuk
puteranya Gus Anwar. Kiai Rahmad ini adalah gurunya ayah Nurul waktu mondok di
Bandar Kidul Kediri. Ayah Nurul tidak bisa menolaknya kecuali Nurul sudah
memiliki seorang calon di Mesir. Jika tidak, maka Nurul terpaksa harus menerima
pinangan itu. Inilah masalahnya.”
“Nurul sendiri
bagaimana? Saya mendengar ada beberapa mahasiswa yang suka dengannya.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
171
“Memang
ada beberapa mahasiswa yang mendekati dia secara baik-baik. Ada yang secara
langsung. Ada juga yang lewat kami atau teman satu rumahnya. Tapi tak ada yang
cocok di hatinya. Ternyata sejak dua tahun yang lalu diam-diam Nurul telah
kagum dan jatuh hati pada seseorang. Tapi sayangnya Nurul tidak berani
mengungkapkannya karena rasa malunya yang tinggi. Ia berharap orang yang
dicintainya terbuka hatinya dengan dan meminangnya tapi sepertinya orang yang
dicintainya tidak tahu kalau Nurul mencintainya. Rasa cinta Nurul padanya
membuncah dan tak bisa dia sembunyikan sejak dua bulan yang lalu. Sejak ayahnya
menelponnya untuk menerima Gus Anwar atau mencari calon sendiri di Mesir yang
shalih. Saat itu dia menangis pada isteriku. Ia mengungkapkan seluruh isi
hatinya. Ia minta kepada isteriku untuk membantunya. Isteriku memberi saran
untuk berterus terang saja pada orang yang dicintainya itu. Tapi Nurul tidak
mau, ia sangat malu. Nurul minta pada isteriku agar aku yang bicara dengan
orang itu. Aku sangat sibuk sekali dan aku merasa tidak tepat untuk bicara pada
orang yang dicintai Nurul itu. Akhirnya aku merasa aku perlu minta bantuanmu.
Kau sangat dekat dengan orang itu. Sudah berkali-kali Nurul bertanya padaku
bagaimana hasilnya. Aku tidak bisa menjawabnya. Sebab aku belum bertemu
denganmu. Kau sibuk aku pun sibuk. Baru kali ini aku bisa bertemu denganmu. Aku
sangat berharap kau bisa membantu.”
“Asal
saya mampu, insya Allah Ustadz. Dia mahasiswi yang baik. Saya salut dan
kagum padanya. Meskipun telah menjabat sebagai Ketua Wihdah tapi dia masih mau
meluangkan waktu mengajar anak-anak baca Al-Qur’an di Masjid Indonsia. Dia juga
orang yang mudah diminta tolong. Sangat kasihan memang kalau orang sebaik dia
tidak mendapatkan apa yang dicintainya. Namanya orang kalau sudah cinta itu
susah untuk tidak dipertemukan. Abu Bakar saja ketika ada seorang budak
perempuan merana karena mencintai Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib
hati beliau luluh. Beliau langsung menemui tuan pemilik budak itu dan
membelinya, lalu mengirimnya ke Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib.
Hal serupa juga dilakukan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Cinta memang
tidak mudah. Orang Inggris bilang, Love is a sweet torment. Cinta adalah
siksaan yang mengasyikkan. Tapi jika orang terus tersiksa
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
172
karena
cinta, ia bisa binasa seperti Laila dan Majnun. Kebinasaan paling tragis adalah
yang disebabkan oleh cinta,” jawabku.
Ustadzah Maemuna
menyahut,
“Dan kami tak ingin
melihat Nurul binasa karena cintanya pada pujaan hatinya.”
“Memangnya rasa cinta
Nurul sampai seperti itu?” heranku.
“Sejak dua bulan yang
lalu. Sejak ia menangis di pangkuanku, Nurul sering menangis sendiri.
Berkali-kali dia cerita padaku akan hal itu. Ia ingin sekali orang itu tahu
bahwa dia sangat mencintainya, lalu orang itu membalas cintanya dan langsung
melaksanakan sunnah Rasulillah. Nurul anti pacaran. Tapi rasa cinta di dalam
hati siapa bisa mencegahnya. Aku tahu benar Nurul siap berkorban apa saja untuk
kebaikan orang yang dicintainya itu. Bantulah kami membuka hati orang itu?”
kata Ustadzah Maemuna.
“Insya
Allah. Saya paling tak tahan melihat seseorang tersiksa batinnya. Jadi
siapakah orang yang sangat beruntung itu, orang yang dipuja dan dicintai gadis
shalihah seperti Nurul?” tukasku tenang. Dalam hati aku merasa bersyukur bahwa
aku mendapatkan seorang biadadari yang kucintai tanpa harus melalaui siksaan
batin serumit Nurul. Tenyata menjadi seorang gadis tidak semudah menjadi
seorang pemuda.
“Kau sangat mengenalnya
kuharap kau tidak kaget mendengar namanya kusebut,” kata Ustadz Jalal.
“Santai
saja Ustadz, insya Allah saya akan biasa saja,” jawabku santai.
“Orang yang dicintai
Nurul, yang namanya selalu dia sebut dalam doa-doanya, yang membuat dirinya
satu minggu ini tidak bisa tidur entah kenapa, adalah FAHRI BIN ABDULLAH
SHIDDIQ!”
Mendengar namaku yang
disebut aku bagaikan mendengar gelegar petir menyambar telingaku. Aku tidak
percaya dengan apa yang baru saja aku dengar dari lisan ustadz Jalal.
“Siapa Ustadz, mungkin
ustadz salah ucap?” tanyaku meyakinkan apa yang aku dengar.
“Aku tidak salah ucap
Fahri. Kaulah orangnya. Nurul sangat mencintaimu. Berkali-kali dia bicara
denganmu langsung atau lewat telpon tapi dia tidak berani
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
173
mengatakan
itu. Dan sudah berkali-kali dia minta kami menemuimu mengungkapkan isi hatinya
padamu, tapi baru kali ini aku sempat. Bagaimana Fahri kau bisa membantu Nurul
bukan?”
Aku
meneteskan air mata. Tetesan itu makin lama makin deras. Akupun tergugu. Kenapa
jalan takdirnya seperti ini? Kenapa berita yang sebenarnya sangat membahagiakan
hatiku ini datang terlambat. Satu-satu nama seorang gadis yang bila kudengar
hatiku bergetar adalah Nurul. Nurul Azkiya. Berita yang seharusnya membuat
hatiku berbunga-bunga itu kini justru membuat hatiku terasa pilu. Dalam hati
aku menyumpahi kebiasaan buruk orang Jawa. Alon-alon waton kelakon!
Jadinya selalu terlambat. Jika dua bulan yang lalu Nurul mengucapkan tiga kata
saja: maukah kamu menikahi aku? Tak akan ada kepedihan ini. Sejak bertemu muka
dengan Aisha hatiku sepenuhnya dipenuhi rasa cinta kepadanya. Dan beberapa jam
lagi ikatan suci yang menyatukan cinta kami akan terjadi, insya Allah.
Dengan
terisak-isak kukatakan pada Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemunah, “Oh, andaikan
waktu bisa diputar kembali. It is no use crying over spilt milk . Tak
ada gunanya menangisi susu yang telah tumpah!”
Lalu
kucoba menenangkan diri dan kujelaskan semuanya yang telah terjadi atas diriku.
Aku tak bisa menyembunyikan tangisku saat menceritakan semuanya. Pertemuan
dengan Aisha di Metro, diskusi dengan Alicia, tawaran Syaikh Utsman,
pertemuan dengan Aisha dan keluarganya, sampai rencana akad nikah dan walimah
yang tinggal menunggu jam D nya.
“Apa yang bisa aku
lakukan untuk Nurul Ustadz, apa. Seandainya Ustadz jadi diriku apa yang bisa
Ustadz lakukan?” kataku sambil tergugu, hatiku merasa pilu. Seandainya Nurul
dan Aisha datang bersamaan, aku tak perlu istikharah untuk memilih Nurul. Aku
lebih mengenal Nurul daripada Aisha. Tapi siapa bisa menarik mundur waktu yang
telah berjalan.
Ustadz Jalal dan
Ustadzah Maemuna menangis terisak-isak. Ustadz Jalal merasa sangat menyesal dan
sangat bersalah pada Nurul. Sudah berkali-kali Nurul mendesaknya untuk menemui
aku dan menjelaskan masalah itu tapi Ustadz Jalal selalu mengulur waktu karena
konsentrasi memperbaiki disertasi doktoralnya. Yang ia sesalkan adalah kenapa
beliau tidak menyempatkan sepuluh menit saja
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
174
untuk
menilpunku memberikan sekadar isyarat ada seorang yang mencintaiku. Ustadzah
Maemuna menangis tersedu-sedu, ia tak bisa membayangkan pilunya hati Nurul.
Hanya karena sebuah keterlambatan sesuatu yang paling berharga bagi jiwanya
tidak ia dapatkan.
Dalam
tangisku aku merasa masalah Nurul ini adalah cobaan besar bagi komitmenku atas
semua kata-kataku di rumah Syaikh Utsman. Cobaan atas cinta dan kesetiaanku
pada Aisha. Bisa saja aku nekad membatalkan kesepakatan dan semua rencana yang
telah ditetapkan seperti dalam film India. Akad Nikah toh belum terjadi.
Mahar belum aku bayarkan. Aku juga sama sekali belum pernah menyentuh Aisha.
Melihat wajahnya juga baru satu kali. Tapi jika aku melakukan hal itu, namaku
akan ditulis dengan lumpur hitam berbau busuk oleh sejarah. Aku akan menjadi
orang munafik paling menyakitkan hati orang-orang yang kucintai dan kuhormati
seperti Syaikh Utsman, Ummu Fathi, Eqbal Hakan Erbakan dan isterinya, dan
tentunya paling sakit dan terzalimi adalah Aisha. Kemudian seluruh mahasiswa
Turki di Mesir akan melaknat perbuatanku. Dan kelak ketika aku berjumpa dengan
Baginda Nabi beliau akan murka padaku karena aku telah menyakiti perasaan
sekian banyak umatnya. Aku tak mau itu terjadi. Lebih dari itu aku tidak tahu
seberapa panjang umurku ini. Jika aku membatalkan pernikahan yang telah
dirancang matang, aku tidak tahu apakah Allah masih akan memberikan kesempatan
padaku untuk mengikuti sunnah Rasul. Ataukah aku justru tidak akan punya kesempatan
menyempurnakan separo agama sama sekali. Tidak selamanya perasaan harus
dituruti. Akal sehat adalah juga wahyu Ilahi.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
175
94 Dari penggalan
puisi “Lagu Hujan” karya penyair Perancis Paul Verlaine (1844-1896) terdapat
dalam Puisi Dunia, Balai Pustaka, 1952, hal. 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar