24.
Tangis Aisha
Yang kulihat pertama
kali adalah wajah Ismail ketika aku bangun. Kepalaku ada di atas pahanya. Ia
tersenyum padaku. Aku merasa haus sekali. Sejak kemarin tenggorokanku belum
terkena setetes air sama sekali.
“Aku haus sekali,”
lirihku sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhku.
“Hamada, ambilkan susu
itu!” Kata Professor Abdul Rauf.
Hamada mengambil botol
berisi susu dan meminumkan padaku. Aku menenggak tiga teguk. “Sudah,” kataku.
“Minumlah lagi, biar
tubuhmu segar!” paksa Ismail.
Aku menenggak tiga
teguk lagi. “Sudah!” kataku.
“Apa yang mereka
perlakukan terhadapmu?”
Dengan suara terbata
aku menceritakan semua bentuk penyiksaan yang aku terima sejak kemarin sampai
tadi pagi. Juga perlakuan mereka yang keji atas kemaluanku.
“Mereka sungguh
biadab!” geram Ismail mendengar ceritaku.
“Mereka memang sangat
biadab. Lebih biadab dari Iblis! Dan apa kau terima masih belum seberapa
dibandingkan para ulama yang disiksa habis-habisan tahun enam puluhan. Bahkan
ada dua orang ulama yang ditelanjangi dan dipaksa melakukan perbuatan kaum nabi
Luth. Tentu saja mereka tidak mau melakukan perbuatan terkutuk itu. Akhirnya
mereka berdua mati syahid jadi santapan anjing ganas yang lapar.” Kisah
Professor Abdul Rauf dengan suara bergetar.
Aku bergidik
mendengarnya. Perlakuan mereka yang keji padaku terbayang kembali. Membuat
hatiku perih dan sakit sekali. Aku tak bisa membayangkan sakitnya seorang
perempuan diperkosa. Kehormatannya dinodai. Betapa sakitnya mereka. Gilanya aku
dituduh melakukan perbuatan bejat yang menyakitkan perempuan itu. Perbuatan
yang sangat kubenci dan kukutuk, tidak mungkin aku lakukan. Rasa gilu dan sakit
bergumul dalam hati bercampur marah, bertumpuk-tumpuk, mendera-dera,
menyesak-nyesak dalam dada.
“Sudahlah
kita makan dulu. Alhamdulillah, ada sedikit rizki dari Allah Swt.!” kata
Professor Abdul Rauf.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
240
110 Jubnah: keju
putih seperti tahu.
Haj
Rashed mengambil bungkusan dari pojok ruangan. Tiga roti isy
yang empuk dan lebar, satu ayam panggang digelar dan satu
plastik apel. Aku bangkit duduk perlahan.
“Apakah semewah ini
jatah dari penjara?” tanyaku.
“Tak lama lagi kau akan
tahu seperti apa jatah penjara,” sahut Hamada.
“Lebih kayak untuk
santapan binatang!” tukas Marwan.
Haj Rashed berkata:
“Yang kita makan ini
adalah kiriman dari isteri Professor Abdul Rauf. Untuk bisa memasukkan makanan
ini ke penjara dia harus membayar seratus pound kepada petugas. Kirimannya juga
dirampas setengahnya. Aslinya adalah dua botol susu, enam lembar roti Isy, dua
buah ayam bakar dan dua kilo apel. Tapi para sipir itu minta separo bagian.
Tidak setiap saat keluarga kami boleh mengirim makanan. Satu bulan hanya
diizinkan dua kali saja. Makanan ini sudah datang sejak tadi pagi. Beberapa
menit setelah kamu dibawa keluar. Kami tidak mungkin makan tanpa menunggumu.
Kami yakin kau pasti sudah lapar. Wajahmu sedemikian pucatnya. Rasulullah tidak
mengizinkan perut kita kenyang sementara orang terdekat kita kelaparan.”
Penjelasan Haj Rashed
membuat diriku terharu. Bahwa diriku berada di tengah-tengah orang baik. Mereka
begitu perhatian padaku. Kami pun makan bersama penuh nikmat dengan diselimuti
rasa persaudaraan yang kuat. Setelah makan dan minum beberapa teguk susu
tubuhku terasa memiliki kekuatan kembali.
Tak
lama setelah itu seorang sipir menggedor pintu dan dari jeruji atas ia
melemparkan enam roti isy kering. Ia melempar roti itu seperti melempar
makanan pada anjing. Isy itu melayang bertebaran. Ada yang mengenai muka
Professor. Ada yang jatuh di kaki Ismail dan ada yang masuk air yang menggenang
di sebagian lantai.
“Ini jubnahnya!”110
teriak sipir itu melempar bungkusan hitam.
Ismail
memunguti isy itu dan mengumpulkannya. Yang jatuh ke genangan air ia
pisahkan. Ia mengambil selembar Isya yang sudah kering itu serta bungkusan
hitam dan menyerahkannya padaku.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
241
“Inilah
jatahnya. Sehari sekali. Coba kau lihat!” ujarnya padaku.
Aku
pegang isy itu. Kering dan kaku. Kubuka plastik hitam, baunya sudah
tidak karuan.
“Tapi kita tetap harus
menerimanya dengan sabar. Yang jatuh ke dalam genangan air kotor itu pun suatu
ketika ada gunanya. Dahulu baginda nabi dan para sahabat pernah sampai makan
rerumputan dan akar pepohonan,” lanjut Ismail.
Kembali aku teringat
hari-hari indah bersama Aisha. Makan tidak pernah kurang. Selama di Alexandria
selalu di restoran hotel. Semua enak dan penuh gizi. Dan tiba-tiba kini aku
harus siap dengan makanan yang layaknya untuk tikus dan kecoa. Aku masih
merasakan Allah Maha Pemurah, makan pertama di penjara adalah ayam panggang
lengkap dengan sebutir apel merah yang segar.
Malam harinya kami
tarawih. Kami mengatur sedemikian rupa agar kami tetap bisa shalat tarawih
berjamaah bersama. Haj Rashed minta satu juz dalam delapan rakaat. Inilah untuk
pertama kalinya aku jadi imam tarawih di Mesir. Dan di dalam penjara. Setengah
tiga kami bangun, tahajjud sebentar lalu sahur. Apalagi yang kami makan kalau
bukan jatah tadi siang. Aku hampir muntah tapi kutahan-tahan. Kulihat Professor
dan teman-teman lainnya makan dengan santai. Di pojok ruangan ada ember
plastik. Kami bergantian minum dari air yang ada di ember itu.
“Kita beruntung minum
dari ember. Di kamar paling pojok sana tempat airnya adalah kaleng bekas yang
sudah karatan,” kata Hamada.
Aku teringat Aisha,
bagaimanakah dia sekarang. Apakah juga sedang sahur, ataukah sedang menangis
sendirian. Aku sangat merindukannya.
* * *
Sampai hari ketiga
ditahan, belum juga ada yang menjengukku. Meskipun diinterogasi dan dipaksa
seperti apapun aku tetap bersikukuh tidak mau mengakui dakwaan itu. Aku tetap
memilih membuktikan tidak bersalah di pengadilan. Pengadilan pertama akan
digelar tiga hari lagi. Aku cemas. Aku perlu pengacara dan saksi yang membelaku
bahwa aku tidak bersalah. Teman-teman satu rumah di Hadayek Helwan. Kelurga
Tuan Boutros. Nurul dan teman-temannya. Dan Syaikh Ahmad. Mereka bisa menjadi
saksi. Tapi bagaimana aku bisa menghubungi
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
242
mereka.
Isteriku, Aisha yang sangat kurindukan belum juga datang menjenguk. KBRI atau
PPMI belum juga tampak batang hidungnya. Aku sangat gelisah dan sedih. Aku
kuatir mereka tidak mau mengerti karena termakan oleh fitnah keji itu. Aku
takut Aisha tidak percaya padaku dan membenciku. Aku tak kuat memendam semua
kegekisahan dan kekuatiran ini. Akhirnya kuutarakan semuanya pada Profesor
Abdul Rauf dan teman-teman.
“Fahri,
kau jangan kuatir. Aku yakin mereka semua sudah tahu dan sudah bergerak. Cuma
memang pihak kepolisian yang sengaja mengulur waktu agar kau tidak segera bisa
bertemu dengan mereka. Dulu, waktu aku ditangkap, satu bulan keluargaku
mencariku ingin bertemu tapi tidak bisa. Baru bulan kedua mereka menemukanku.
Isterimu mungkin sekarang sedang pontang-panting dipermainkan para polisi tidak
bertanggung jawab itu. Mungkin sudah sampai di kantor penjara ini. Tapi pihak
keamanan akan bilang sudah dipindah ke Tahrir. Nanti yang Tahrir akan bilang
dipindah ke Nasr City. Dan seterusnya. Begini saja nanti ibuku mau menjengukku.
Berikanlah nomor handphone isterimu, biar ibuku memberitahu dia bahwa
kau ada dipenjara ini,” kata Ismail memberi saran. Untung aku ingat nomor handphone
Aisha. Aku beritahu nomor itu pada Ismail sampai dia hafal betul. Dan nanti
ibunya akan menghafal nomor itu. Jika satu angka saja salah maka nasibku akan
semakin buruk.
* * *
Hari keempat.
Setelah menerima
sarapan pagi dari sipir penjara berupa cambukan, pukulan dan tamparan aku
mendapat panggilan. Seorang sipir menggelandangku dengan tergesa-gesa ke balai
pengobatan penjara. Seorang dokter militer dan dua perawat membersihkan muka
dan beberapa bagian tubuhku yang luka. Penampilanku mereka perbaiki sedemikian
rupa. Lalu aku diajak ke sebuah ruangan. Di sana ada tiga sosok menungguku,
Paman Eqbal, Magdi penjaga apartemen kami dan seorang perempuan bercadar yang
aku yakin dia adalah Aisha. Begitu melihat sosokku perempuan bercadar itu
berhambur ke arahku. Ia memelukku erat-erat sambil menangis. Aku pun menangis.
Ia menatapku dalam-dalam dan meraba wajahku dengan kedua tangannya yang halus.
“Bagaimana keadaanmu,
Fahri, Suamiku?”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
243
“Aku
baik-baik saja. Kau bagaimana?”
Aisha menangis
tersedu-sedu dalam pelukanku. “Apa dosa kita berdua Fahri sampai kita harus
menanggung cobaan seberat ini. Aku nyaris kehilangan sesuatu yang paling
berharga yang aku miliki kalau seandainya tidak diselamatkan oleh Magdi. Kau
harus berterima kasih padanya. Dia telah menyelamatkan kesucian isterimu ini
Fahri.” Aisha berkata sambil terisak-isak.
“Apa sebenarnya yang
terjadi setelah hari itu?” tanyaku penasaran.
“Aku tak sanggup
menceritakannya. Tanyakanlah pada Magdi?” jawab Aisha dengan tetap memeluk erat
diriku.
Kami lalu duduk. Kutanyakan
apa yang terjadi pada Aisha pada Magdi. Dengan tenang Magdi, polisi yang sering
kujumpai shalat berjamaah di masjid dekat apartemen itu bercerita:
“Sebelumnya
maafkan diriku, aku tidak bisa membantumu saat kau ditangkap. Karena mereka
membawa surat penangkapan lengkap. Meskipun aku secara pribadi tidak yakin akan
kebenaran tuduhan yang digunakan sebagai alasan penangkapanmu. Dan anggapanku
ini agaknya benar. Satu hari setelah kau ditangkap, sekitar jam sepuluh pagi
polisi berkumis yang ikut menangkapmu itu kembali datang. Ia minta izin mau
bertanya sedikit pada Madame Aisha, isterimu. Aku menanyakan surat
izinnya. Dia bilang tidak bawa tapi ini tugas penting yang harus dikerjakannya.
Dia hanya akan bertanya beberapa hal pada Aisha, membutuhkan waktu tak lebih
dari sepuluh menit saja. Akhirnya kuizinkan dia naik. Namun aku dan Hosam punya
firasat tidak baik dan curiga dengan tindak-tanduknya. Diam-diam kami naik juga
ke atas membuntutinya memakai lift satunya. Sampai di lantai 7 kami kaget oleh
teriakan Madame Aisha. Kami berdua langsung mendobrak pintu sekuat
tenaga. Dan kami melihat Si Kumis sedang mengejar Madame Aisha di ruang
tamu hendak memperkosanya. Seketika itu juga dia kami bekuk!”
Darahku mendidih, aku
nyaris tidak bisa menguasai amarahku mendengar cerita Magdi.
“Kurang ajar! Akan
kucari dan kubunuh keparat itu!” teriakku dengan mengepalkan tangan kuat-kuat.
Bagiku kehormatan isteriku adalah segala-galanya, jauh diatas kehormatan diriku
sendiri. Kesucian isteriku sama dengan
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
244
kesucian
kitab suci, tidak boleh ada seorang pun yang menodainya apalagi
menginjak-injaknya. Kesucian isteriku adalah nyawaku. Ketika ada orang yang
berusaha menjamah kesuciannya maka nyawaku akan kupertaruhkan untuk membelanya.
Seandainya aku punya seribu nyawa akan aku korbankan semuanya untuk menjaga
kesucian isteriku tercinta. Mati seribu kali lebih ringan bagiku daripada ada
orang yang menjamah kesuciannya. Malaikat maut pun akan aku hajar jika dia
mencoba-coba menodainya. Aku rela dijuluki apa saja untuk membela kesucian
isteriku tercinta.
“Insya
Allah, kau tidak akan lagi bertemu dengannya!” kata Magdi sambil tersenyum.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Dia
sedang diproses ke tiang gantungan. Dia terlalu bodoh. Dia salah perhitungan.
Dia mengira isterimu adalah orang Indonesia. Dan kau tentu tahu banyak
perempuan Indonesia diperkosa di mana-mana, di Saudi, di Singapura, di
Malaysia, di Hongkong, di Taiwan, juga beberapa kali di Mesir dan para
pemerkosanya tidak tersentuh hukum sama sekali. Diplomasi Indonesia sangat
lemah. Si Kumis itu beranggapan begitu. Dia merasa perbuatannya akan aman-aman
saja sebab yang akan ia perkosa adalah perempuan Indonesia. Dia menganggap kami
berdua seperti penjaga apartemen biasa yang tidak akan berani mengusiknya. Tapi
dia keliru. Kami tidak akan membiarkan siapa pun berbuat jahat di apartemen
yang kami jaga. Dia langsung kami bekuk begitu tertangkap basah hendak
melakukan perbuatan jahat itu. Madame Aisha langsung mengontak Mr.
Minnich, Atase Politik Kedutaan Jerman. Kedutaan Jerman langsung mengontak
kementerian luar negeri meminta agar penjahat yang mencoba menyakiti warganya
ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku di Mesir yaitu hukuman gantung. Si
Kumis itu dalam tahanan kami masih bisa tertawa karena ia yakin akan ada yang
membebaskannya. Benar, lima jam setelah itu ada perintah untuk membebaskannya.
Namun belum sempat kami bebaskan sudah ada perintah lagi untuk memprosesnya
secara hukum. Yang kami tahu Jerman mengancam akan mengopinikan di negaranya
dan di Eropa bahwa Mesir tidak aman jika polisi brengsek itu tidak ditindak
tegas. Jerman juga mengancam akan membatalkan beberapa kerjasama perdagangan
dan perindustrian dengan Mesir. Menurut Mr.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
245
Minnich
keselamatan seorang warganya sama dengan keselamatan presidennya. Tak ada
pilihan bagi pemerintah Mesir kecuali menindak tegas seorang oknum tidak
bertanggung jawab itu. Tapi setelah kami selidiki agaknya memang ada skenario
jahat yang ingin menghancurkan dirimu dan keluargamu, Fahri!” jawab Magdi.
“Maksudmu?”
“Aku sudah bertemu
Syaikh Ahmad. Beliau meyakinkan padaku bahwa kau tidak mungkin melakukan hal
itu. Selama tiga hari kemarin di samping menangani kasus Si Kumis, aku dan
Eqbal berusaha mencari di mana kau berada. Si Kumis bilang di serahkan ke
penjara Tahrir. Pihak Tahrir bilang sudah dibawa ke Nasr City. Nasr City bilang
sudah diambil Abbasea. Pihak Abbasea bilang sudah dibawa lagi ke Tahrir. Ada
orang yang cukup punya kuasa yang mendalangi semua ini, kemungkinan dia seorang
oknum dari Keamanan Negara, sampai aku nyaris tidak berdaya dan para polisi itu
juga takut memberikan keterangan jelas mengenai keberadaanmu. Pihak Kedutaan
Indonesia juga alot di Tahrir. Untung tadi pagi Aisha mendapat telpon dari
seorang perempuan yang mengatakan anaknya satu sel denganmu. Dan kami langsung
meluncur kemari. Kasus Aisha sudah beres, kau tinggal menunggu kabar penjahat itu
digantung. Sekarang tinggal masalahmu. Masalah yang tidak mudah. Coba
ceritakanlah padaku bagaimana sebenarnya yang terjadi sampai kau dituduh
memperkosa gadis bernama Noura itu?”
Aku lalu menjelaskan
semua yang terjadi malam itu, dimulai dari kabar kelulusanku, makan ayam
panggang di Sutuh bersama teman-teman, jeritan Noura, minta tolong Maria,
sampai menitipkan Noura pada Nurul di Masakin Utsman. Juga aku ceritakan
sepucuk surat cinta dan ucapan terima kasih dari Noura.
“Di mana surat itu
sekarang?”
“Aku berikan pada
Syaikh Ahmad.”
Seorang polisi memberi
tahu waktu berkunjung telah habis. Aisha memberikan bungkusan berisi makanan.
Dia mengajakku ke pojok ruangan. Di sana dia membuka cadarnya sehingga aku bisa
menatap wajahnya. Dia menangis dan tampak sedih. Aku mencium pipinya. “Jaga
diri baik-baik, jaga kesehatanmu
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
246
dan
kandunganmu, teruslah berdoa dan mendekatkan diri pada Allah agar semua masalah
ini dapat teratasi. Aku sangat mencintaimu, isteriku.”
Aisha terisak, “Aku
juga sangat mencintaimu. Kau besarkanlah jiwamu suamiku, aku berada
disampingmu. Aku tidak akan termakan tuduhan jahat itu. Aku yakin akan
kesucianmu. Kalau seandainya kau mengizinkan aku ingin dipenjara bersamamu agar
aku bisa menyediakan sahur dan buka untukmu.”
“Kau jangan berpikir
seperti itu. Kau tenangkanlah pikiranmu. Yakinlah semuanya akan selesai dengan
baik. Banyak orang baik yang akan membantu kita. Sekarang yang harus kau
prioritaskan adalah perhatianmu pada kandunganmu. Sekarang kau tinggal di mana?
Apa sendirian di Zamalek?”
“Tidak. Sejak kejadian
itu aku tinggal bersama bibi Sarah dan paman Eqbal.”
“Bagus. Kau akan lebih
tenang di sana.”
Aisha kembali memasang
cadarnya. Paman Eqbal dan Magdi mendekati kami. Mereka pamitan. Aku merangkul
paman Eqbal dan minta doanya. Juga merangkul Magdi dan mengucapkan banyak
terima kasih padanya. Mereka lalu keluar. Aku beranjak mengambil bungkusan
besar berisi makanan. Tiba-tiba Magdi kembali.
“Sst..Fahri ceritakan padaku
kau diinterogasi bagaimana?”
Aku menceritakan
semuanya. Paksaan untuk mengakui perbuatan itu dan aku bersikukuh tidak mau
mengakuinya.
“Keputusan yang tepat
sekali. Sebab jika kau mengaku dan menandatangani berkas pengakuan maka sangat
sulit diselamatkan. Aku dan Eqbal akan mencari pengacara yang baik untukmu.
Kapan sidangnya?”
“Tiga hari lagi.”
“Siksaan apa yang kau
terima selama tiga hari ini?”
Aku menceritakan
semuanya. Termasuk kekurangajaran Si Kumis mempermainkan kemaluanku. Juga
siksaan setiap pagi.
“Tapi kumohon kau
jangan ceritakan siksaan-siksaan ini pada Aisha atau paman Eqbal mereka akan
sedih. Biarlah nanti kuceritakan sendiri setelah keluar dari penjara ini.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
247
“Yang kau terima itu masih termasuk ringan. Jangan kuatir.
Sakit hatimu pada Si Kumis itu biar teman-temanku yang nanti membalasnya. Dia
memang polisi kurang ajar. Aku akan mencoba berbicara pada kepala penjara ini.
Dan makanan ini, jika dirampas sama sipir penjara nanti bilang. Terus ciri-ciri
sipir itu bagaimana? Aku akan mengurusnya. Sudah ya satu hari sebelum sidang, insya
Allah aku dan pengacara yang akan membelamu akan datang kemari. Aku pamit
dulu. Selamat beribadah oh ya ada salam dari Syaikh Abdurrahim Hasuna, imam
masjid kita. Beliau ikut berbela sungkawa atas musibah yang menimpamu dan
beliau akan ikut serta mendoakanmu.”
“Terima kasih atas
segalanya Magdi, salam balik untuk beliau.”
Magdi pergi. Aku
kembali ke sel. Aku beritahu mereka apa yang terjadi. Mereka semua ikut senang
dan berdoa semoga aku cepat bebas dari penjara ini. Bisa kembali belajar dan
pulang ke Indonesia mengamalkan ilmu yang kudapat di bumi para nabi ini. Ismail
membuka bungkusan besar yang kubawa. Ia heran bagaimana aku bisa membawa
makanan sebanyak itu. Kujelaskan semuanya.
“Alhamdulillah,
di dunia ini masih ada polisi baik seperti Magdi,” gumam Ismail.
“Dia
SLTA di ma’had Al Azhar Damanhur,” sahutku.
“Pantas.”
“Tapi
Si Noura, gadis itu juga ma’had Al Azhar, kenapa dia bisa berbuat
sejahat itu?” heranku.
“Aku yakin itu bukan
semata-mata kemauan Noura. Setidaknya ada sesuatu yang menekannya. Puteriku
yang nomor tiga juga di Al Azhar, dan dia sangat jujur,” tukas Haj Rashed.
Belum puas kami
berbincang terdengar langkah sepatu bot dan pintu kami digedor.
“Tahanan 879!”
teriaknya seperti anjing menyalak.
“Ya!” jawabku dengan
suara keras.
“Ayo ikut!”
Aku dibawa ke ruang
penerimaan tamu. Di sana sudah ada Staf Konsuler KBRI dan Ketua PPMI. Keduanya
memelukku erat-erat. Mereka berdua ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi
denganku. Aku ceritakan kronologis
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
248
penangkapanku
dan dakwaan yang dialamatkan kepadaku. Staf konsuler berjanji akan membantu
sekuat tenaga membebaskan aku dengan upaya diplomatis, meskipun dengan nada
yang agak pesimis,
“Tahun 1995 pernah ada
mahasiswa kita yang mengalami nasib mirip denganmu. Dia naik lift. Di dalam
lift ada anak kecil Mesir. Entah kenapa anak kecil itu menangis. Anak kecil itu
melapor pada kedua orang tuanya takut pada mahasiswa kita itu. Orang tuanya
melapor pada polisi menuduh mahasiswa kita mencoba mencabuli anaknya. Padahal
mahasiswa kita tidak berbuat demikian, dia hanya menyapanya dan mengajaknya
bicara seperti kalau bertemu dengan anak-anak di Indonesia. Polisi lebih
percaya pada pengaduan orang tua anak itu. Orang Mesir jika sudah menyinggung
kehormatan perempuan sangat sensitif. Menyiul perempuan berjalan saja bisa
ditangkap polisi jika perempuan itu merasa terhina dan tidak terima. Akhirnya
mahasiswa kita itu dipenjara beberapa bulan. Ia dikeluarkan dari Al Azhar dan
dideportasi. Ia tidak dihukum gantung karena setelah divisum anak kecil itu
memang tidak apa-apa. Bayangkan, hanya karena mengajak bicara anak kecil di dalam
lift, mahasiswa kita dipenjara. Dan pihak KBRI tidak bisa berbuat apa-apa.
Akhirnya mahasiswa kita itu harus keluar dari Mesir. Sekarang ia belajar di
Turki. Bahkan ikut membantu staf KBRI di sana. Juga menjadi pemandu travel bagi
orang Indonesia yang melancong ke Turki yang biasanya satu paket dengan umrah.
Di sana dia malah kaya dan makmur sekarang. Untuk kasusmu ini, kita akan
berusaha sekuat tenaga. Tapi kita tidak bisa menjamin keberhasilannya.”
Kata-kata staf konsuler
KBRI itu membuat hatiku ciut. Aku tiba-tiba ingin jadi warga negara Amerika
saja. Jika aku warga negara Amerika pasti polisi Mesir tidak berani berbuat
macam-macam. Menyentuh kulitku saja mereka tidak akan berani apalagi mengancam
hukuman gantung. Jika aku jadi warga negara Amerika, mungkin seandainya
benar-benar memperkosa pun, tetap selamat. Sebab presiden Amerika akan ikut
bicara membela warganya seperti ketika Clinton membela warganya yang dicambuk
di Singapura. Lain Amerika lain Indonesia. Apa yang dibela oleh presiden
Indonesia kalau bukan jabatan dan perutnya sendiri? Mana mungkin dia mendengar
rintihan dan rasa sakitku dicambuk tiap pagi dan membeku kedinginan di bawah
tanah dalam musim dingin
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
249
yang
membuat tulang ngilu? Apalagi diriku yang jauh di Mesir. Sedangkan ribuan gadis
Indonesia dijual, dirobek-robek kehormatannya dan diperlakukan seperti binatang
di Singapura saja presiden diam saja? Kapan dalam sejarahnya ada Presiden
Indonesia membela rakyatnya? Kecuali Soekarno di zaman mempertahankan
kemerdekaan.
“Kalau kami, apa yang
bisa kami bantu menurut Mas Fahri?” kata Ketua PPMI.
“Pertama,
aku ingin dukungan seluruh teman-teman dari Indonesia. Demi Allah yang
mengetahui apa yang tersembunyi di langit dan di bumi, aku tidak melakukan
perbuatan yang dituduhkan kepadaku itu. Aku ingin dukungan moral dari
teman-teman semua. Tolong disosialisasikan kisah yang sebenarnya. Orang satu
rumah denganku dan Nurul tahu akan hal itu. Jika nanti ada wartawan Mesir
mewawancarai tolong opinikan yang baik mengenai diriku, tolong! Juga
teman-teman yang jadi koresponden media massa di tanah air tolong kisahkan yang
sebenarnya jangan yang malah menimbulkan interpretasi yang macam-macam. Kedua,
kepada PPMI dan KBRI mohon kerjasama dengan pengacaraku nanti. Sekarang
isteriku dan seorang polisi Mesir yang baik sedang mencari pengacara untuk
membelaku. Tolong bantu mereka. Ketiga, mohon doa teman-teman Indonesia
semuanya, ketika sahur, ketika tarawih, ketika shalat malam. Doakan aku selamat
dari ujian berat ini. Itu saja harapanku saat ini.” Jelasku dengan sedikit
terisak, sebab masalah yang aku hadapi sangat serius. Nyawaku sedang terancam.
Staf KBRI dan Ketua PPMI berjanji akan memenuhi keinginanku itu. Aku
mengucapkan terima kasih atas kunjungan mereka. Mereka minta maaf terlambat
tapi itu karena pihak kepolisian Mesir yang membuat urusan berbelit-belit.
Sesedih apapun,
kunjungan KBRI dan PPMI menambah kekuatan dalam diri. Kedatangan mereka berdua
seolah berisi dorongan moral dari seluruh saudara setanah air di Indonesia. Di
negeri orang, orang satu tanah air yang berlainan pulaupun menjadi seperti
saudara sendiri. Apalagi yang satu pulau. Satu propinsi. Satu kabupaten. Satu
kecamatan. Aku merasa diperhatikan oleh dua ribu lima ratus lebih mahasiswa
Indonesia yang ada di Mesir. Rasa cintaku pada mereka semakin membulat, juga
pada segenap saudara di KBRI.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
250
*
* *
Satu hari menjelang
sidang Aisha, paman Eqbal, dan Magdi datang membawa seorang pengacara bernama
Amru. Dia menginginkan diriku menceritakan semua hal yang kira berkaitan dengan
masalah yang sedang aku hadapi. Aku menceritakan semuanya dari kejadian ribut
malam itu sampai berita terakhir dari Syaikh Ahmad bahwa Noura telah menemukan
orang tuanya yang asli setelah melalui test DNA. Amru dan Magdi akan membantu
sekuat tenaga untuk membebaskan aku dari segala tuduhan itu. Semua saksi dan
bukti yang kira-kira bisa membela diriku akan dia gunakan. Amru juga
mengingatkan diriku agar dalam sidang besok bersikap tenang dan tidak
terpancing emosi. Sebab jaksa penuntut akan menggunakan teror kata-kata dan
psikologis untuk melemahkan diriku dan menjebakku. Aku mungkin akan sangat
dihina oleh kepandaiannya bersilat lidah dan berargumentasi tapi aku tidak
boleh terbawa oleh irama permainannya. Kemungkinan besar besok adalah sidang
untuk mendengarkan pengakuan Noura dan pengakuanku. Serta teror investigasi
dengan perkataan dan pertanyaan di depan sidang. Aku mengucapkan terima kasih
atas segala bantuannya. Amru tersenyum.
“Meski berliku, aku
yakin kebenaran akan menang. Apa pun yang terjadi pada akhirnya kebenaran akan
menang. Jangan kuatir, Saudaraku. Nanti malam perbanyaklah shalat dan memohon
pertolongan kepada Allah.” Kata Amru mengingatkan. Mereka pamitan. Seperti saat
mengunjungi sebelumnya sebelum pergi, Aisha mengajakku ke pojok ruangan. Dia
membuka cadarnya agar aku dapat melihat wajahnya. Kami berangkulan dalam
tangis.
“Fahri, kuatkanlah
dirimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku tak ingin
bayiku ini lahir tanpa dirimu disisiku.” Isak Aisha yang membuat hatiku bagai
diremas-remas. Aku merasa langit-langit ruangan itu basah, dan
dinding-dindingnya melelehkan air mata. Kuusap air matanya dengan ujung
jilbabnya, pelan kubisikkan padanya sebuah harapan:
Sayang, tancapkan dalam
hati
walau tak kini
esok
insya Allah terjadi
kita akan bulan madu
lagi
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
251
berkali
kali
lebih indah dari yang
telah kita lalui
apalagi di sorga nanti
walau tak kini
esok
insya Allah terjadi
selama cinta kita tak
pernah mati
selama iman masih
terpatri dalam diri
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
252
Tidak ada komentar:
Posting Komentar