11.
Dijenguk Sahabat Nabi
Kepada Syaikh Ahmad aku
berikan surat Noura untuk beliau baca. Jamaah shalat shubuh sudah banyak yang
pulang. Kecuali beberapa kakek-kakek yang beri’tikaf dan membaca Al-Qur’an
menunggu sampai waktu dhuha tiba. Aku diajak Syaikh Ahmad masuk ke dalam kamar
imam. Aku memohon kepada beliau untuk memperlakukan gadis itu dengan lebih baik
dan bijak. Aku memohon kepada beliau agar gadis itu jangan dicela atas apa yang
ditulis dan dilakukannya. Gadis itu memang sedikit berbohong ketika mengatakan
surat itu ucapan terima kasih semata. Gadis itu perlu dikokohkan semangat
hidupnya dan diyakinkan dia tidak akan mendapatkan perlakuan buruk lagi. Dia
akan aman di Mesir. Syaikh Ahmad membaca surat itu dan menitikkan air mata.
“Akan aku minta kepada Ummu Aiman untuk mencurahkan perhatian yang lebih
padanya. Dia memang memerlukan rasa aman dan kasih sayang yang selama ini
hilang. Dan dia sepertinya belum merasa yakin dia akan mendapatkan rasa aman
dan kasih sayang di sini.” Syaikh Ahmad berjanji akan menyelesaikan masalah
Noura sebaik-baiknya dan meminta diriku agar tidak terganggu dan konsentrasi
pada tesis. Dan surat Noura itu aku berikan pada Syaikh. Aku tidak mau menyimpannya.
Baru aku pulang.
Sampai di rumah aku
baca Al-Qur’an satu halaman. Aku ingin memejamkan mata setengah jam saja. Aku
pesan pada Saiful agar membangunkan aku sampai aku benar-benar bangun pada
pukul setengah tujuh.
Pukul
setengah tujuh aku dibangunkan. Kerikil di mata belum sepenuhnya hilang. Aku
mandi. Sarapan belum jadi. Aku mempersiapkan segalanya untuk pergi. Jawaban
untuk Alicia. Proposal tesis. Dan disket berisi naskah terjemahan. Karena
perjalanan panjang aku harus berangkat pagi. Di metro aku tidak dapat
tempat duduk. Metro penuh oleh orang-orang yang berangkat kerja. Turun
di Tahrir aku langsung mencari Eltramco menuju Hayyu Sabe. Tujuanku adalah
@lfenia. Warnet yang dikelola teman-teman mahasiswa dari Indonesia. Pukul
delapan aku sampai di sana. Bertemu Furqon, penjaga warnet yang sudah seperti
saudara sendiri. Furqon memelukku dan berkata, “Pucat sekali sampean Mas.
Begadang ya?”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
126
Aku menganggukkan kepala. Furqon mempersilakan aku memilih
sendiri tempat yang kuinginkan. Hanya ada tiga orang yang sedang berlayar di
dunia maya. Aku memilih yang paling dekat dari tempatku berdiri. Membuka
Yahoomail. Mengirim naskah terjemahan dengan attachment. Membuka beberapa
message di mailist Mutarjim, Qahwaji, dan Indonesia Cinta Damai. Melihat Ahram,
Time, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka dan Islam-online. Satu jam aku
di @lfenia. Furqan menyuguhkan segelas teh Arousa. Teh paling merakyat di
Mesir. Jika dibuat kental dan minum masih dalam keadaan agak panas pelan-pelan.
Sruput demi sruput. Teh Arousa mampu meringankan kepala yang
berat dan menyegarkan pikiran. Dari @lfenia aku langsung naik bis 926 menuju
kampus Al Azhar di Maydan Husein. Kuserahkan proposal tesiskepada Syuun
Thullab Dirasat Ulya Fakultas Ushuluddin. Aku merasa aku akan terlambat
sampai di National Library. Aku kontak Aisha memberitahukan posisi keberadaanku
dan meminta mereka menunggu jika aku terlambat.
Benar aku terlambat
sepuluh menit. Aku minta maaf. Kukeluarkan jawaban atas pertanyaan Alicia yang
telah kujilid.
“Semua pertanyaan
tentang perempuan dalam Islam saya jawab dalam empat puluh halaman. Pertanyaan
lainnya saya jawab dengan menerjemahkan buku yang ditulis oleh Prof.Dr. Abdul
Wadud Shalabi.”
Alicia
dan Aisha berdecak kaget dan gembira atas keseriusanku. Aku jelaskan siapa
sebenarnya yang menerjemahkan buku Prof. Shalabi ke dalam bahasa Inggris.
Sahamku dalam terjemahan itu hanyalah membaca ulang dan mengoreksinya serta
menerjemahkan hadits dan melengkapi terjemahan Al-Qur’an yang ditinggalkan
Maria. Korektor akhir atas semuanya adalah Syaikh Ahmad Taqiyyuddin. Lalu kami
berdiskusi selama dua jam setengah. Saat berdiskusi aku merasa badanku terasa
meriang sekali. Kepalaku berat tapi aku tahan dan aku kuat-kuatkan. Alicia
minta data diriku dan alamat lengkapku. Dua hari lagi rencananya ia akan
kembali ke Amerika. Aisha berkata suatu saat nanti akan mengajak diriku untuk
berdiskusi lagi. Kami berpisah. Di luar gedung terik panas benar-benar
menggila. Aku naik metro. Sampai di Maadi setengah tiga.Aku belum
shalat. Terpaksa aku turun untuk shalat di masjid yang ada di luar mahattah.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
127
Aku meneruskan perjalanan. Ubun-ubun kepalaku terasa sangat
nyeri. Di Tura El-Esmen badai panas bergulung menebar debu ke dalam metro.
Sangat tidak nyaman. Turun di Hadayek Helwan aku merasa tidak kuat untuk
berjalan ke apartemen. Aku panggil taksi. Kepalaku nyeri sekali. Tubuh seperti
remuk. Aku lupa belum sarapan sejak pagi. Sampai di halaman apartemen aku
sempat melihat jam tangan. Pukul tiga seperempat. Kepalaku seperti ditusuk
tombak berkarat. Sangat sakit. Begitu membuka pintu rumah aku merasa tidak kuat
melangkahkan kaki. Kepala terasa seperti digencet palu godam. Lalu aku tidak
tahu apa yang terjadi. Mataku menangkap kilatan cahaya putih lalu gelap.
* * *
Dalam keremangan gelap
aku melihat ada cahaya. Perlahan aku membuka mata. Aku melihat langit-langit
berwarna putih. Bukan langit-langit kamarku. Langit-langit kamarku biru muda.
Kepalaku masih berat.
“Alhamdulillah.
Kau sudah tersadar Mas,” suara Saiful serak. Aku memandang wajahnya.
“A..aku di...di mana?”
lidahku terasa kelu sekali.
“Di rumah sakit Mas,”
lirih Saiful.
“Kenapa?”
“Sudah lah Mas
istirahat dulu. Jangan memikirkan apa-apa dulu.”
Kepalaku terasa nyeri
kembali. Aku berusaha berpikir, mengingat-ingat apa yang terjadi padaku
sehingga ada di rumah sakit ini. Perjalanan melelahkan, kepanasan dengan perut
kosong. Membuka pintu dengan kepala sakit luar biasa seperti dihantam palu
godam. Lalu gelap. Saiful menatapku dengan mata berkaca.
“Jam be..berapa?”
tanyaku padanya.
“Setengah tiga malam
Mas.”
Aku teringat belum
shalat Ashar, Maghrib dan Isya. Aku ingin bangkit tapi seluruh tubuhku terasa
lumpuh. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit sekali.
“Aduuh!
Astaghfirullah!” aku menahan sakit tiada terkira.
“Kenapa Mas?”
Semuanya
kembali terasa gelap. Aku berlayar dalam gelap dan keheningan. Mengarungi dunia
yang tiada aku tahu namanya. Aku mendengar suara magic Syaikh Utsman
Abdul Fattah. Fahri, baca surat Al Anbiya! Kubaca
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
128
82 Imam Warasy,
seorang Imam Qiraah yang terkenal, mengambil qiraahnya dari Imam Nafi bin
Abdurrahman Al-Madani yang mengambil qiraah dari Imam Abu Ja’far Al-Qari dan
tujuh puluh tabiin. Dan mereka semua mengambil qiraah dari Ibnu Abbas dan Abu
Hurairah dari Ubay bin Kaab dari Rasulullah Saw.
surat Al Anbiya. Teruskan
Surat Al Hajj, pakai qiraah Imam Warasy.82 Aku
membaca dengan qiraah Warasy sampai selesai. Semuanya gelap kembali. Aku tidak
mendengar apa tidak melihat apa-apa. Aku kembali mendengar suara Syaikh Utsman,
beliau membaca surat Al Furqan dengan qiraah Imam Hamzah aku mendengar dengan
seksama kefasihan tajwidnya. Sampai ayat enam puluh lima beliau membaca dengan
menangis tersedu-sedu. Aku ikut menangis. Beliau tiada kuasa untuk
melanjutkannya. Aku membacanya dan melanjutkannya dengan qiraah yang sama.
Selesai. Syaikh Utsman meminta aku meneruskan satu surat lagi. Aku memenuhi
titah beliau, kubaca surat Asy Syuara. Sampai pada ayat seratus delapan puluh
empat daun telingaku menangkap suara isak tangis sayup-sayup. Aku merasa ada
sentuhan halus di pipiku. Aku mengerjapkan mataku.
“Fahri, kau sudah sadar
Fahri. Kau bangun Fahri. Ini aku,” suara halus perempuan. Aku coba membuka mata
lebih lebar. Semakin terang. Aku melihat wajah putih bersih. Dia duduk di kursi
dekat dengan dadaku
“Ma..Maria?!” aku
memanggil namanya, tapi cuma bibirku yang kurasa bergerak tanpa suara.
“Ya aku Maria,” ia
mendekatkan wajahnya ke wajahku.
.“Astaghfirullah!”
lirihku.
“Ada apa Fahri?”
“Ma..mana Saiful?”
“Sedang keluar, dia
kusuruh sarapan.”
“Jam berapa?”
“Jam delapan pagi.”
Maria tiada berkedip
memandangi diriku yang terbujur tiada berdaya seperti bayi. Matanya
berkaca-kaca, hidungnya memerah dan pipinya basah.
“Kenapa kau kemari,
Maria?”
“Aku ingin tahu
keadaanmu. Aku mencemaskanmu.”
“Kau menangis Maria?”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
129
“Kau
membuatku menangis Fahri. Kau mengigau terus dengan bibir bergetar membaca
ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matamu meleleh tiada hento. Melihat
keadaanmu itu apa aku tidak menangis,” serak Maria sambil tangan kanannya
bergerak hendak menyentuh pipiku yang kurasa basah.
“Jangan Maria tolong,
ja..jangan sentuh!”
“Maaf, aku lupa.
Keadaan haru sering membuat orang lupa.”
Aku melihat di samping
kiriku ada tiang besi putih, ada tabung infus tergantung di sana. Di bawah
tabung ada selang kecil mengalirkan air infus ke dalam nadi tangan kiriku. Air
infus terus menetes seperti embun di musim penghujan. Aku kembali merasakan
nyeri dalam tempurung kepalaku. Seperti ada ratusan paku menacam. Aku berusaha
menahan dengan memejamkan mata dan otot rahang menegang. Tak kuat juga aku
mengaduh, meskipun lirih.
“Ada apa Fahri, apa
yang kau rasakan?” suara Maria serak.
“Kepalaku nyeri
sekali.”
“Biar kupanggilkan
petugas,” telingaku menangkap suara langkah kaki Maria. Tak lama kemudian ia
datang dengan seorang dokter lelaki. Dokter itu memasang menempelkan tangannya
di keningku. Memeriksa tekanan darahku. Memasang termometer sebesar pena di
ketiakku. Dan dengan suara yang lembut menanyai apa yang kurasakan serta
membesarkan hatiku. Ia mengambil termometer dan melihatnya. Lalu menuliskan
sesuatu di dalam berkas yang di bawanya. Kemudian menyuntikkan sesuatu lewat
jarum selang infus yang menancap di tangan kiriku.
“Suntikan untuk
meredakan rasa sakit. Kau akan cepat sembuh,” kata dokter itu. Maria mengamati
dengan seksama apa yang dilakukan dokter itu padaku. Ia berdiri di samping
ranjang. Rambutnya yang hitam terkucir rapi. Setelah mendapat suntikan itu rasa
sakit di kepalaku terasa mulai berkurang. Saiful datang tepat saat dokter
setengah baya yang mengenalkan dirinya bernama Ramzi Shakir itu hendak pergi.
Saiful menyalami dokter Ramzi dan berbincang sebentar dengannya. Maria duduk di
kursi di samping ranjang. Saiful mendekat. Ia mengucapkan salam dan tersenyum.
“Maria, boleh aku
bicara empat mata dengan Saiful?” lirihku pada Maria.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
130
83 rekreasi.
Maria mengangguk dan
melangkah keluar. Ia tidak membawa serta tas kecilnya.
“Saif, kenapa kau tinggalkan
aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menunggui aku? Dia bukan mahramku.”
Aku memaksakan diri untuk bersuara agak keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku
marah dan tidak berkenan.
“Maafkan saya Mas.
Keadaannya darurat. Aku belum tidur sama sekali semalam dan perutku perih
sekali. Kebetulan Maria datang,” jawabnya.
“Teman-teman yang lain
mana?”
Saiful lalu menceritakan
kejadian itu.
“Saat Mas pulang dan
terjatuh tak sadarkan diri di pintu, yang ada di rumah cuma saya seorang. Saya
langsung mengontak Mishbah yang saat itu ada di Wisma agar pulang. Sedangkan
Hamdi dan Rudi, hari itu sedang dalam perjalanan ikut rihlah83
ke Luxor yang diadakan Majlis A’la. Mereka tidak mungkin
dihubungi. Saya bingung, saya naik ke atas. Untung saat itu Yousef dan Maria
ada. Maria langsung menelpon mamanya, Madame Nahed, yang sedang kerja di
Rumah Sakit Maadi. Madame Nahed meminta pada Maria agar seketika itu
juga membawa Mas Fahri ke rumah sakit. Madame Nahed mengurusi semuanya
dan memilihkan kamar kelas satu. Dia juga yang memilihkan dokter. Madame Nahed
tidak bisa langsung menanganimu sebab dia dokter spesialis anak. Mas tak
sadarkan diri dalam waktu yang lama sekali. Mas baru sadar jam setengah tiga
malam. Setelah itu tak sadarkan diri lagi. Mishbah sampai di rumah sakit jam
lima sore ikut menunggui sampai jam satu malam. Saya dan Mishbah sepakat
membuat jadwal. Malam itu saya minta Mishbah istirahat di rumah, karena dia
terlihat sangat kelelahan. Dan saya minta dia datang pukul sembilan pagi untuk
gantian jaga. Pukul setengah delapan tadi Maria datang tepat ketika saya
merasakan perut ini sedemikian perih karena sejak sore kemarin belum kemasukan
apa-apa. Melihat wajah saya pucat Maria minta saya keluar keluar untuk makan
dan membersihkan badan. Jadilah Maria menjaga Mas sendirian.”
Mendengar cerita itu
aku maklum adanya. Saiful berjanji akan menjaga diriku sebaik-baiknya
bergantian dengan Mishbah. Dan tidak akan membiarkan diriku dijaga oleh orang
lain.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
131
Maria mengetuk pintu minta izin masuk. Aku minta Saiful untuk
mempersilakan dia masuk. Maria datang dengan menenteng kantong plastik putih.
Ia duduk dan mengeluarkan isinya; satu botol air mineral, satu kotak susu
Juhayna isi satu kilo, satu kotak ashir mangga, sebungkus roti tawar,
satu kaleng vitrac rasa strawberry, satu kaleng cokelat, sekotak keju
president, dan satu kotak tissue meja. Ia menatanya di atas meja yang
masih kosong tidak ada apa-apa. Maria menawariku makan atau minum. Aku sama
sekali tidak berselera. Ia mengambil selembar roti tawar, mengoleskan keju dan
cokelat dan menutupnya dengan selembar roti tawar di atasnya dan menyerahkan
pada Saiful. Saiful tidak bisa menolaknya. Maria kembali mengambil roti tawar.
Kali ini untuk dirinya. Lalu ia mengambil dua gelas dan bertanya pada Saiful
mau minum apa. Saiful menjawab, air putih saja. Maria menuangkan air mineral ke
dalam gelas dan menyerahkan pada Saiful. Ia sendiri menuangkan ashir mangga.
Kudengar mereka berdua
berbincang sambil makan roti. Saiful mengucapkan rasa terima kasih atas
kebaikan Maria. Dengan sangat hati-hati ia menjelaskan masalah mahram kepada
Maria. Dengan bahasa halus ia meminta agar jika bisa Maria datang bersama ayah
atau adiknya. Jadi seandainya berbincang atau berada dalam satu ruangan seperti
itu ada mahram yang menemaninya. Bukan karena tidak percaya pada Maria tapi
demi kedamaian jiwa. Aku diam saja. Sebab perlahan aku kembali merasakan
kepalaku mulai bersenut-senut. Aku masih bisa mendengar Saiful menyitir
beberapa sabda Rasul yang memberikan tuntunan cara berinteraksi pria dengan
wanita. Batasan boleh dan tidaknya.
Aku juga mendengar
pertanyaan Maria tentang boleh tidaknya perempuan menjenguk pria yang
dikenalnya yang sakit. Aku mendengar Saiful menjawab boleh, mendasarkan
jawabannya bahwa Imam Bukhari dalam kitab shahihnya secara khusus menulis “Bab
Perempuan Membesuk Lelaki”. Beliau mengatakan, “Ummu Darda’ menjenguk seorang
lelaki ahli masjid dari kalangan Anshar.” Dalam sebuah riwayat juga disebutkan
bahwa ketika Ka’ab bin Malik Al Anshari sakit keras dan dekat dengan
kematiannya, Ummu Mubasyir binti Al Barra bin Ma’rur Al Anshariyyah
menjenguknya. Maka tidak ada masalah seorang
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
132
84 Semoga Allah menyembuhkanmu secepatnya, dengan
kesembuhan yang tiada sakit setelahnya.
85 Tayamum adalah
bersuci dengan menggunakan debu sebagai ganti wudhu.
perempuan menjenguk
saudaranya yang lelaki selama masih menjaga adab kesopanan yang diajarkan
Rasulullah.
Setelah itu aku tidak
mendengar lagi apa yang mereka bicarakan. Aku kembali merasakan nyeri yang luar
biasa dalam tempurung kepalaku. Aku mengaduh. Lalu semuanya terasa gelap.
* * *
Ketika aku sadar, aku tidak
menemukan Saiful dan Maria. Yang ada di sisiku adalah Mishbah dan beberapa
teman dari Nasr City yang kukenal baik. Ada Mas Khalid, Kang Kaji, Mas Junaedi,
Sofwan, Iswan, Khalil, Bimo dan Chakim. Mereka semua tersenyum padaku meskipun
aku menangkap guratan sedih dalam wajah mereka. Mereka mendekat satu persatu
dan memelukku pelan sambil berbisik, “Syafakallah syifaan
ajilan, syifaan la yughadiru ba’dahu saqaman.”84
Kutanyakan pada Mishbah
jam berapa sekarang. Mishbah menjawab jam satu siang. Apakah ini hari Ahad?
Mishbah menjawab iya. Aku minta pada Mishbah untuk menghubungi Syaikh Utsman.
Rabu lalu aku sudah tidak datang. Aku minta Mishbah menjelaskan kondisiku pada
beliau dan memohon agar beliau memberikan doanya. Mishbah keluar. Aku mencoba
mengangkat tanganku. Tidak bisa juga. Rasanya seperti lumpuh. Aku meneteskan
air mata. Aku belum berani bertanya sakit apa aku sebenarnya.
Aku minta pada Mishbah
dan teman-teman agar tidak mengabarkan sakitku ini ke Indonesia. Aku merasa
ingin buang air kecil. Aku katakan itu pada Mas Khalid. Mas Khalid mengambilkan
pispot. Teman-teman yang lain keluar. Mas Khalid memasukkan pispot ke balik
selimutku. Tangannya meraba tanpa membuka auratku dan berusaha aku bisa buang
air kecil di dalam pispot. Aku tidak bisa membayangkan kalau dalam keadaan
seperti ini yang ada di sampingku hanyalah Maria seperti tadi pagi. Apakah aku
harus buang air kecil begitu saja di atas kasur seperti waktu aku masih bayi
dulu, ataukah aku akan meminta tolong padanya untuk memasangkan pispot. Selesai
buang air kecil, aku minta pada Mas Khalid mentayamumi aku.85
Tanganku sama sekali tidak bisa digerakkan. Lalu
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
133
aku
shalat dengan menggunakan isyarat mata dan tubuh terlentang tiada berdaya
seperti seorang balita.
Teman-teman
menemani sampai jam besuk habis. Tinggal Mishbah seorang yang tetap menunggui
diriku. Mishbah memberi tahu habis maghrib, insya Allah, Syaikh Utsman
Abdul Fattah akan datang. Aku meneteskan air mata, diriku telah menyusahkan
banyak orang. Mishbah mengusap air mata yang meleleh dipipiku dengan tissue
yang dibeli Maria, baunya wangi. Sambil menghiburku bahwa semuanya akan kembali
seperti sedia kala, aku akan sembuh dan sehat kembali serta bisa main bola
lagi. Saiful datang membawa bantal. Ia bilang sejak sekarang ia dan Mishbah
akan menjagaku berdua. Tidur dan istirahat bergantian di dalam kamar kelas satu
ini. Memang di kamar yang tidak terlalu luas ini hanya aku seorang pasiennya.
Aku tidak tahu bagaimana nanti membayar ongkosnya. Kepalaku terasa berat lalu
nyeri dan semuanya kembali terasa gelap.
Dalam
gelap aku tidak tahu berada di alam apa. Tiba-tiba aku berjumpa dengan orang
yang kurus dan bercahaya wajahnya, orang yang belum pernah aku berjumpa
dengannya. Dia mengenalkan dirinya sebagai Abdullah bin Mas’ud. Aku tersentak
kaget. Abdullah bin Mas’ud adalah satu-satunya sahabat, yang Baginda Nabi ingin
mendengar bacaan Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud adalah Guru Besar
Tafsir dan Qiraah di kota Kufah. Imam-imam besar dari kalangan tabiin banyak
yang belajar membaca Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku
serta merta aku mencium tangannya, ia menyambutku dan memeluk diriku. Aku bisa
berdiri, aku tidak lumpuh. Ibnu Mas’ud membisikkan syafakallah ke
telingaku. Aku mencium bau harum dari jubah dan tubuhnya.
Beliau melepaskan
pelukannya dan memintaku membaca Al Baqarah. Aku membacanya dengan hati
bahagia. Beberapa kali dia membetulkan bacaanku. Aku membaca sampai akhir Al
Baqarah. Abdullah bin Mas’ud memintaku berhenti. Abdullah bin Mas’ud mencium
keningku dan hendak pergi. Aku menahannya. Aku katakan aku ingin menanyakan
sesuatu padanya. Beliau tersenyum dan menyilakan aku bertanya.
Aku tanyakan padanya,
“Apakah benar riwayat yang mengatakan Anda tidak mengakui mushaf Utsmani?”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
134
Abdullah
bin Mas’ud tersenyum padaku dan berkata dengan suara yang sangat berwibawa,
“Yang
tidak mengakui mushaf Utsmani dan tidak suka dengannya adalah orang-orang
munafik dan orang-orang yang memusuhi agama Allah. Mereka mencatut namaku untuk
membela tujuan-tujuan mereka yang jahat. Apa yang ada di dalam mushaf Utsmani
dari Al Fatihah sampai An Naas adalah wahyu yang diturunkan Allah melalui
malaikat Jibril kepada Baginda Nabi. Tertulis utuh dan sempurna. Tidak
berkurang dan tidak bertambah meskipun cuma satu huruf. Dan apa yang ada dalam
mushaf Utsmani itulah yang aku ajarkan pada para tabiin dan mereka mengajarkan
pada murid-muridnya. Begitu seterusnya hingga sampai kepadamu dan kepada jutaan
umat Muhammad di seluruh penjuru dunia. Al-Qur’an terjaga keasliannya. Memang
akan selalu ada orang-orang jahat yang berusaha meragukan kebenaran dan merusak
kesucian Al-Qur’an. Namun ketahuilah usaha mereka akan sia-sia. Sebab Allah
sendiri yang akan menjaga keutuhan dan kesuciannya sampai hari akhir. Dan
orang-orang pilihan Allah di dunia ini adalah mereka yang disebut Ahlul
Quran. Orang-orang yang hatinya selalu terpatri pada Al-Qur’an, mengimani
Al-Qur’an, dan berusaha mengajarkan dan mengamalkan isi Al-Qur’an dengan penuh
keikhlasan.”
Sahabat
nabi, Abdullah bin Mas’ud tersenyum. Aku pun tersenyum. Aku ingin ikut
dengannya, tapi beliau tidak memperbolehkannya. Aku lalu titip padanya salam
sejahtera, rasa cinta dan rasa rindu tiada terkira untuk Baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sahabat nabi itu lalu meninggalkan diriku. Semakin lama
semakin jauh. Mengecil. Menjadi titik. Dan hilang. Aku merasa kehilangan dan
sedih. Mataku basah.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar