3.
Keributan Tengah Malam
Aku
sampai di flat jam lima lebih seperempat. Siang yang melelahkan. Ubun-ubun
kepalaku rasanya mendidih. Cuaca benar-benar panas. Yang berangkat talaqqi pada
Syaikh Utsman hanya tiga orang. Aku, Mahmoud dan Hisyam. Syaikh Utsman jangan
ditanya. Disiplin beliau luar biasa. Meskipun cuma tiga yang hadir, waktu talaqqi
tetap seperti biasa. Jadi, kami bertiga membaca tiga kali lipat dari
biasanya. Jatah membaca Al-Qur’an sepuluh orang kami bagi bertiga. Untungnya
masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq ber-AC. Jika tidak, aku tak tahu seperti apa
menderitanya kami. Mungkin konsentrasi kami akan berantakan, dan kami tidak
bisa membaca seperti yang diharapkan.
Seperti mengerti
keinginan kami, begitu selesai talaqqi, Amu Farhat, takmir masjid yang
baik hati itu membawakan empat gelas tamar hindi43
dingin. Bukan main segarnya ketika minuman segar itu
menyentuh lidah dan tenggorokan. Selesai minum aku pulang. Mahmoud, Hisyam, Amu
Farhat dan Syaikh Utsman meneruskan perbincangan menunggu ashar.
Perjalanan
pulang ternyata lebih panas dari berangkat. Antara pukul setengah empat hingga
pukul lima adalah puncak panas siang itu. Berada di dalam metro rasanya
seperti berada dalam oven. Kondisi itu nyaris membuatku lupa akan titipan
Maria. Aku teringat ketika keluar dari mahattah Hadayek Helwan. Ada dua
toko alat tulis. Kucari di sana. Dua-duanya kosong.. Aku melangkah ke Pyramid
Com. Sebuah rental komputer yang biasanya juga menjual disket. Malang!
Rental itu tutup. Terpaksa aku kembali ke mahattah dan naik metro ke
Helwan. Di kota Helwan ada pasar dan toko-toko cukup besar. Di sana kudapatkan
juga disket itu. Aku beli empat. Dua untuk Maria. Dan dua untuk diriku sendiri.
Kusempatkan mampir ke masjid yang berada tepat di sebelah barat mahattah Helwan
untuk shalat ashar.
Terik matahari masih
menyengat ketika aku keluar masjid untuk pulang. Di tengah perjalanan aku
melewati Universitas Helwan yang lengang. Hanya seorang polisi berpakaian lusuh
yang menjaga gerbangnya. Tampangnya mengenaskan. Masih muda, tapi kurus kering.
Seperti pohon pisang kering. Atau
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
35
44 Kondektur.
45 Sari air tebu.
(Minuman paling memasyarakat di Mesir saat musim panas).
seperti dendeng di Saudi
kala musim haji. Mukanya tampak kering. Panas sahara seperti menghisap habis
darahnya. Ia pasti prajurit wajib militer yang biasa disebut duf’ah.
Polisi paling menderita karena bertugas dengan sangat terpaksa. Tanpa gaji
memadai. Hanya beberapa pound saja. Wajar jika tampangnya mengenaskan. Bisa
jadi ia masih berstatus mahasiswa. Karena memang seluruh laki-laki Mesir
terkena wajib militer. Seorang kumsari44 mendekat.
Ia gemuk, kepalanya bulat penuh keringat. Perutnya buncit seperti balon mau
meletus. Beda sekali dengan polisi penjaga gerbang universitas itu. Dunia ini
memang penuh perbedaan-perbedaan dan hal-hal kontras yang terkadang tidak mudah
dimengerti. Metro terus melaju.
Sampai di flat,
tenagaku nyaris habis. Kulepas sepatu dan kaos kaki lalu masuk kamar. Sampai di
kamar langsung kunyalakan kipas angin, kulepas tas, topi, kaca mata hitam, dan
kemeja putihku. Kuusap mukaku dengan tissu. Hitam. Banyak debu menempel. Aku
lalu beranjak ke ruang tengah, membuka lemari es, mencari yang dingin-dingin
untuk menyegarkan badan. Begitu membuka pintu lemari es mataku membelalak
berbinar. Ada sebotol ashir ashab.45 Dingin.
Kutuangkan untuk satu gelas. Sambil membawa gelas berisia ashir ashab aku
berteriak,
“Siapa
nih yang beli ashir ashab. Pengertian sekali. Syukran ya. Semoga
umurnya diberkahi Allah.”
Rudi keluar dari
kamarnya dengan wajah ceria.
“Mas.
Ashir ashab itu bukan kami yang beli.”
“Terus dapat dari
mana?”
“Tadi diberi oleh
Maria.”
“Apa? Diberi oleh
Maria?”
“Iya. Katanya untuk
Mas. Makanya masih utuh satu botol. Kami tidak menyentuhnya sebelum dapat izin
dari Mas. Sekarang kami boleh ikut mencicipi ‘kan Mas?”
“Ah kamu ini ada-ada
saja. Kalau ambil ya ambil saja. Yang penting aku disisain. Pakai menunggu izin
segala.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
36
46 Dan jika kamu
diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu
dengan yang lebih baik daripadanya (QS. An-Nisaa’: 86)
“Masalahnya ini dari Maria,
Mas. Sepertinya puteri Tuan Boutros itu perhatian sekali sama Mas.
Jangan-jangan dia jatuh hati sama Mas.”
“Hus jangan ngomong
sembarangan! Mereka itu memang tetangga yang baik. Sejak awal kita tinggal di
sini mereka sudah baik sama kita. Bukan sekali ini mereka memberi sesuatu pada
kita.”
“Tapi kenapa Maria bilang
untuk Mas. Bukan untuk kita semua?”
“Lha ketahuan ‘kan? Kau
cemburu, jangan-jangan kau yang jatuh cinta. Ya udah nanti biar kusampaikan
sama Maria dan Tuan Boutros ayahnya, kalau memberi sesuatu biar yang disebut
namamu hehehe.”
“Jangan Mas. Bukan itu
maksudku?”
“Terus?”
“Tapi Maria sepertinya punya
perhatian lebih pada Mas.”
“Akh
Rudi, kamu jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kamu ‘kan
tahu. Maria berbuat begitu atas nama keluaganya, atas petunjuk ayahnya yang
baik hati itu. Dan karena kepala keluarga di rumah ini adalah aku, maka tiap
kali memberi makanan, minuman atau menyampaikan sesuatu ya selalu lewat aku, as
a leader here. Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku
dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person
saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua
penganut keyakinan yang berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia
yang beradab di muka bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan hal yang terlalu
jauh. Tugas kita di sini adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di
antaranya adalah belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah diberi, ya
nanti kita gantian memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum bi
tahiyyatin fa hayyu bi ahasana minha!”46
“Saya
mengerti, Mas. Afwan jika ucapan saya tadi ada yang kurang berkenan.”
“Udah jangan dipikir.
Emm..bagaimana makalahmu? Sudah selesai?”
“Alhamdulillah,
Mas.”
“Kapan dipresentasikan?”
“Sabtu sore.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
37
47 Semoga sukses.
“Di mana?”
“Di Wisma Nusantara.”
“Ma’at
taufiq.”47
Aku
melangkah ke kamar sambil membawa segelas ashir ashab. Kuselonjorkan
kakiku di atas karpet. Punggungku kusandarkan ke pinggir tempat tidur. Untung
tembok apartemen ini tebal. Jendelanya rapat. Sehingga udara panas di luar
apartemen tidak mudah menembus masuk. Meskipun agak hangat tapi tidak sepanas
di luar. Dan dengan kipas angin sudah cukup membuat udara yang hangat itu
menjadi sejuk. Kuteguk ashir ashab. Perlahan. Dingin mengaliri
tenggorokan. Oh luar biasa nikmatnya. Di kawasan beriklim panas, seperti Mesir
dan negara Timur Tengah lainnya, air dingin memang sangat menyenangkan. Jika
air dingin itu membasahi tenggorokan yang kering rasanya seperti meneguk air
sejuk dari surga, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Orang yang kehausan di
tengah sahara yang paling ia damba dan ia cinta adalah air dingin penawar
dahaga. Tak ada yang lebih ia cinta dari itu. Di sinilah baru bisa kurasakan
betapa dahsyat doa baginda Nabi,
‘Ya Allah jadikanlah
cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada harta, keluarga dan air yang dingin’.
Beliau
meminta agar cintanya kepada Allah melebihi cintanya pada air yang dingin, yang
sangat dicintai, disukai, dan diingini oleh siapa saja yang kehausan di musim
panas. Di daerah yang beriklim panas, cinta pada air yang sejuk dingin
dirasakan oleh siapa saja, oleh semua manusia. Jika cinta kepada Allah telah
melebihi cintanya seseorang yang sekarat kehausan di tengah sahara pada air
dingin, maka itu adalah cinta yang luar biasa. Sama saja dengan melebihi cinta
pada nyawa sendiri. Dan memang semestinya demikianlah cinta sejati kepada Allah
Azza Wa Jalla. Jika direnungkan benar-benar, baginda Nabi sejatinya
telah mengajarkan idiom cinta yang begitu indah.
Setelah
keringat hilang, dan ubun-ubun kepala mulai dingin aku bangkit hendak mengambil
handuk. Aku harus mandi, badan rasanya tidak nyaman. Harus dibersihkan dan
disegarkan. Baru menyentuh handuk, handphone-ku memerik singkat. Ada sms
masuk. Kubuka. Dari Maria,
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
38
48 Kaset yang
merekam Al-Qur’an dibaca secara tartil.
“Sudah pulang ya? Bagaimana dengan titipanku, dapat?”
Langsung kujawab,
“Dapat. Terima kasih atas ashir ashabnya.”
Kuletakkan
handphone-ku di atas meja. Aku langsung bergegas mandi. Baru menutup
kamar mandi yang bersebelahan dengan kamarku, kudengar si handphone memekik
lagi. Maria pasti mengirim pesan balik. Ah, biar, nanti saja setelah mandi.
Kuputar kran wastafel. Aku ingin cuci tangan. Air mengalir. Kusentuh. Hangat
sekali. Berarti pipa-pipa yang berada di dalam tanah berpasir yang mengalirkan
air dari tandon raksasa itu telah panas. Aku jadi teringat saat umrah ke Saudi
di puncak musim panas tahun lalu. Baik siang atau pun malam, kalau hendak mandi
harus mendinginkan air dulu di ember besar. Sebab air yang keluar dari kran
sangat panas. Harus ditampung di ember besar dan ditunggu sampai dingin.
Kulihat bath-tub penuh dengan air. Alhamdulillah, teman-teman
sangat pengertian dan cerdas. Aku bisa langsung mandi tanpa menunggu air
dingin. Ketika air menyiram seluruh tubuh rasa segar itu susah diungkapkan
dengan bahasa verbal. Habis mandi tenaga rasanya pulih kembali.
Usai berganti pakaian
kurebahkan diriku di atas kasur. Oh, alangkah nikmatnya. Ini saatnya istirahat.
Kunyalakan tape kecil di samping tempat tidur. Enaknya adalah memutar murattal48
Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri. Suaranya yang sangat lembut
dan indah penuh penghayatan dalam membaca Al-Qur’an sering membawa terbang
imajinasiku ke tempat-tempat sejuk. Ke sebuah danau bening di tengah hutan yang
penuh buah-buahan. Kadang ke suasana senja yang indah di tepi pantai Ageeba,
pantai laut Mediterania yang menakjubkan di Mersa Mathruh. Bahkan bisa membawaku
ke dunia lain, dunia indah di dalam laut dengan ikan-ikan hias dan bebatuan
yang seperti permata-permata di surga. Dalam keadaan lelah selalu saja suara
Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri menjadi musik pengantar tidur yang paling nikmat.
Meski terkadang aku harus terlebih dahulu meneteskan air mata, kala mendengar
Syaikh Syathiri sesengukan menangis dalam bacaannya. Kunyalakan murattal Syaikh
Syatiri. Suaranya yang indah langsung mengelus-elus syaraf-syarafku. Mataku
mulai liyer-liyer hendak
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
39
terpejam. Tiba-tiba handphone-ku kembali memekik. Aku
teringat sesuatu. Titipan Maria. Kubaca pesan Maria.
Ada tiga pesan:
“Buka jendela sekarang. Aku akan turunkan keranjang.”
“Kau sedang apa? Aku sudah turunkan keranjang. Lama sekali.”
“Kenapa tidak ada respons?”
Aduh, kasihan Maria.
Dia tadi sudah lama membuka jendelanya dan menurunkan keranjang.
Langsung kujawab,
“Afwan. Tadi saya langsung mandi. Jadi tiga pesanmu terakhir
baru kubuka setelah mandi. Afwan. Sekarang bisa kau turunkan keranjang.”
Kutunggu respons
darinya. Tak lama pesannya masuk,
“O, begitu. Tak apa-apa. Ini kuturunkan keranjangnya.”
Aku bangkit dari tempat
tidur. Mengambil dua disket dalam tas. Lalu menuju jendela. Kubuka jendela.
Hawa panas langsung masuk. Sebuah keranjang kecil dijulurkan dengan tambang
kecil putih dari atas. Ada uang sepuluh pound di dalamnya. Kuletakkan dua
disket itu dalam keranjang tanpa menyentuh uang sepuluh pound itu sama sekali.
Kamar
Maria memang tepat di atas kamarku, dan jendela kamarnya tepat di atas jendela
kamarku. Orang Mesir yang berada di atas lantai dua biasanya memiliki keranjang
kecil yang seringkali digunakan untuk suatu keperluan tanpa harus turun ke
bawah. Jika ibu-ibu Mesir belanja buah-buahan atau sayur-sayuran pada penjual
buah atau penjual sayur keliling, biasanya mereka menggunakan keranjang kecil
itu, tanpa harus turun dari rumah mereka yang berada di atas. Mereka cukup
pesan berapa kilo, setelah sepakat harganya mereka menurunkan keranjang kecil
yang di dalamnya sudah ada uang untuk membayar barang yang dipesannya. Tukang
buah atau tukang sayur akan mengisi keranjang itu dengan barang yang dipesan
setelah mengambil uangnya. Jika uangnya lebih, mereka akan mengembalikannya
sekaligus bersama barang yang dipesan. Barulah si ibu mengangkat keranjangnya
seperti orang menimba. Transaksi yang praktis. Pertama kali melihat aku heran.
Yang aku herankan adalah begitu amanah-nya
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
40
49 Ruzz bil laban: Bubur dari
beras yang dibuat dengan susu. Setelah dingin dimasukkan dalam kulkas.
penjual buah itu. Mereka
tidak curang. Tidak berusaha nakal. Maria atau ibunya juga biasa membeli sayur
atau buah dengan cara seperti itu.
Maria
mengangkat keranjangnya. Aku menutup jendela. Tak lama kemudian handphone-ku
kembali bertulalit. Maria lagi,
“Harganya berapa? Uangnya kok tidak diambil, kenapa?”
Kujawab,
“Harganya zero, zero, zero pound. Jadi tak perlu dibayar.”
Ia menjawab,
“Jangan begitu. Itu tidak wajar.”
Kujawab,
“Harganya seperti biasa. Uangnya kau simpan saja.
Kalau kau buat Ruzz bil laban49 titip ya. Bolehkan?”
Ia menjawab,
“Baiklah kalau begitu. Dengan senang hati. Syukran!”
Kujawab,
“Afwan.”
Klik.
Handphone kunonaktifkan. Aku ingin tidur. Pada saat yang sama, kudengar
suara pintu terbuka. Lalu suara Hamdi mengucapkan salam. Kujawab lirih. Alhamdulillah
dia pulang. Dia nanti akan masak oseng-oseng wortel campur kofta.
Aku senang bahwa teman-teman satu rumah ini mengerti dengan kewajiban
masing-masing. Kewajiban memasak sesibuk apa pun adalah hal yang tidak boleh
ditinggalkan. Sepertinya remeh tapi sangat penting untuk sebuah tanggung jawab.
Masak tepat pada waktunya adalah bukti paling mudah sebuah rasa cinta sesama
saudara. Ya inilah persaudaraan. Hidup di negeri orang harus saling membantu
dan melengkapi. Tanpa orang lain mana mungkin kita bisa hidup dengan baik.
Sambil rebahan
kunikmati suara Syaikh Syathiri membaca Al-Qur’an mengalun indah. Maghrib masih
lama. Dalam musim panas, siang lebih panjang dari malam. Aku harus
beristirahat. Nanti malam harus kembali memeras otak. Menerjemah untuk biaya
menyambung hidup. Ya, hidup ini—kata Syauqi, sang raja penyair Arab—adalah
keyakinan dan perjuangan. Dan perjuangan seorang
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
41
mukmin
sejati—kata Imam Ahmad bin Hanbal—tidak akan berhenti kecuali ketika kedua
kakinya telah menginjak pintu surga.
* * *
Seperti biasa, usai
shalat maghrib berjamaah di masjid kami berkumpul di ruang tengah untuk makan
bersama. Kali ini kami hanya berempat. Masih kurang satu, yaitu Si Mishbah. Ia
belum pulang. Ia masih di Wisma Nusantara yang menjadi sentral kegiatan
mahasiswa Indonesia. Gedung yang diwakafkan oleh Yayasan Abdi Bangsa itu
terletak di Rab’ah El-Adawea, Nasr City.
Hamdi baru pulang dari
Masjid Indonesia. Ia banyak bercerita tentang anak-anak para pejabat KBRI yang
lucu-lucu dan manja-manja. Dibandingkan yang ada di negara lain, KBRI di Cairo
bisa dibilang termasuk yang beruntung. Komunitas yang mereka urusi adalah
mahasiswa Al Azhar. Kegiatan keislaman dan pengajian antaribu-ibu KBRI juga
berjalan lancar. Tiap Ramadhan ada tarawih bersama. Juga ada pesantren kilat
untuk putera-puteri mereka. Semuanya dipandu oleh mahasiswa dan mahasiswi Al
Azhar. Masalah yang dihadapi KBRI Cairo tidak serumit yang dihadapi oleh KBRI
di Saudi Arabia misalnya, yang setiap hari berurusan dengan TKI atau TKW dengan
setumpuk masalahnya yang sangat memuakkan. Misalnya, tidak dibayar majikan, disiksa
majikan, diperkosa majikan, diperlakukan seperti budak oleh majikan, dihamili
oleh sesama tenaga kerja dari Indonesia, ditangkap polisi karena tidak punya
izin tinggal resmi, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Masjid Indonesia yang
dibangun oleh para pejabat KBRI bahkan telah memiliki perpustakaan yang cukup
mengasyikkan bagi putera-puteri mereka. Manajemen masjidnya lumayan baik. Teks
khutbah Jum’atnya dibukukan tiap tahun. Masjid Indonesia bahkan biasa menjadi
tempat rekreasi para mahasiswa yang ingin melepas penat pikiran. Mereka yang
mayoritasnya tinggal di Nasr City, jika merasa bosan bisa main ke Dokki.
Silaturrahmi ke rumah pejabat KBRI yang dikenal. Atau ke Masjid Indonesia yang
terletak di Mousadda Street. Pergi ke Dokki pada hari Jum’at sangat tepat.
Selain shalat Jum’at bersama dan bersilaturrahim dengan sesama orang Indonesia,
usai shalat Jum’at biasanya ada makan bersama di belakang masjid. Makanan
disediakan oleh para pejabat KBRI
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
42
muslim
secara bergiliran. Jika keadaan ini terus bertahan niscaya sangat indah untuk
dikisahkan dan dikenang.
Usai
makan, aku melakukan rutinitasku di depan komputer. Mengalihbahasakan kitab
berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Kali ini yang aku garap adalah kitab
klasik karya Ibnu Qayyim, yaitu kitab Miftah Daris Sa’adah. Dua jilid
besar. Kitab berat. Menggarap kitab ini benar-benar menguras pikiran dan
tenaga. Aku harus ekstra serius dan hati-hati pada saat Ibnu Qayyim membahas
masalah ilmu perbintangan, horoskop, pengaruh planet-planet, ramalan nasib, dan
lain sebagainya. Bahasa ilmu falak dan astronomi adalah bahasa yang tidak
mudah. Aku terpaksa membuka kamus klasik berkali-kali. Apalagi bahasa yang
dipakai Ibnu Qayyim adalah bahasa Arab klasik. Itu saja tidak cukup, harus juga
didampingi dengan kamus dan buku astronomi modern. Dan tatkala yang ditulis
Ibnu Qayyim telah terang maksudnya, aku bagaikan menemukan mutiara tidak
ternilai harganya. Ibnu Qayyim ternyata juga seorang astronom yang luar biasa.
Menerjemahkan sebuah
kitab klasik terkadang terasa sangat menjemukan. Namun ketika rasa jemu bisa
teratasi kegiatan itu akan berubah menjadi sebuah rekreasi yang sangat
mengasyikkan. Andaikan Ibnu Rusyd masih hidup, aku ingin bertanya, rasanya
seperti apa ketika dia sedang menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Dan
seperti apa rasanya ketika telah selesai semuanya?
Malam
ini jadwalku sampai jam dua belas. Berhenti ketika shalat Isya. Akhir bulan
naskah harus sudah aku kirim ke Jakarta. Setelah itu ada dua buku yang siap
diterjemah. Buku kontemporer, bahasanya lebih mudah. Seorang teman pernah
mencibir diriku, bahwa menjadi penerjemah sama saja menjadi mesin pengalih
bahasa. Aku tak peduli dengan segala cibiran mereka. Aku merasa nikmat dengan
apa yang aku kerjakan. Aku bisa belajar menambah ilmu, mentransfer ilmu
pengetahuan dan berarti ikut serta mencerdaskan bangsa. Aku bisa berkarya,
sekecil apa pun bentuknya. Berdakwah, dengan kemampuan seadanya. Dan yang
terpenting aku bisa hidup mandiri dengan royalti yang aku terima. Tidak seperti
mereka yang bisanya mencibir saja. Menuruti kata orang tidak akan pernah ada
habisnya. Kamu tidak akan mungkin bisa memenuhi segala
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
43
50 Ayam bakar.
51 Apa pendapat
kalian.
kesesuaian
dengan hati semua manusia! Kata-kata Imam Syafii mengingatkan
diriku.
* * *
Pukul
22.00 waktu Cairo. Handphone-ku berdering. Ada sms masuk. Dari
Musthafa, teman Mesir satu kelas di pasca. Ia memberikan kabar gembira,
“Mabruk. Kamu lulus. Kamu bisa nulis tesis. Tadi sore
pengumumannya keluar.”
Aku merasa seperti ada
hawa dingin turun dari langit. Menetes deras ke dalam ubun-ubun kepalaku lalu
menyebar ke seluruh tubuh. Seketika itu aku sujud syukur dengan berlinang air
mata. Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan. Setelah puas sujud
syukurku aku mengungkapkan rasa gembiraku pada teman-teman satu rumah. Mereka
semua menyambut dengan riang gembira. Dengan tasbih, tahmid dan istighfar.
Dengan mata yang berbinar-binar. Kukatakan pada mereka,
“Malam ini juga kita
syukuran. Kita beli firoh masywi50 dua.
Lengkap dengan ashir mangga. Kita makan nanti tengah malam, bersama-sama
di sutuh sana. Bagaimana. Eh ra’yukum51?”
“Kalau ini sih usul
yang susah ditolak!” sahut Saiful senang. Siapa yang tidak senang diajak makan
ayam bakar gratis.
Kukeluarkan uang lima
puluh pound.
“Biar
aku sama Saiful saja yang beli. Mas Fahri sama Hamdi di rumah saja. Kalian
masih capek ‘kan karena perjalanan tadi siang. Okay?” Rudi menawarkan
diri.
“Okay.
Oh ya jangan cuma ashir mangga, beli juga tamar hindi ya? Jangan
lupa!” sahut Hamdi. Ia memang paling suka sama tamar hindi. Waktu musim
dingin saja ia mencari tamar hindi, apa tidak aneh.
“Beres bos,” seru
Saiful.
Keduanya membuka pintu
dan keluar.
“Mas aku buat sambal
sama menanak sedikit nasi ya?” kata Hamdi.
“Sip. Kita buat
bareng,” sambutku sambil mengacungkan kedua jempolku. Memang, tanpa membuat
sambal ala Indonesia kurang mantap. Ayam bakar Mesir
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
44
52 Lantai apartemen
paling atas dan menghadap langit (atap apartemen).
tidak pakai sambal. Padahal
kami berempat adalah orang yang doyan sambal, terutama Hamdi. Dia jebolan
pesantren Lirboyo, harus pakai sambal.
Saat melangkah ke dapur aku
teringat Mishbah. Tidak adil rasanya kami berempat berpesta tampa
mengikutsertakan dia. Namanya keluarga, ketika senang harus dirasakan bersama.
Aku tersenyum. Masalah yang mudah. Kutelpon Wisma. Aku minta disambungkan pada
Mishbah. Kuberitahukan padanya orang satu rumah akan syukuran atas kelulusanku.
Ia berteriak gembira,
“Mas apa aku pulang saja
sekarang? Pakai taksi ‘kan cepat!”
“Kerjamu sudah selesai?”
tanyaku.
“Belum sih sekarang aku lagi
membuat estimasi dana sama Mas Khalid.”
“Kalau
begitu kau selesaikan saja pekerjaanmu. Kalau kau pulang ke Hadayek Helwan kau
akan terlalu capek. Begini saja Akhi,
kau ajak saja Mas Khalid istirahat ke Babay atau ke mana terserah. Ajak makan firoh
masywi. Pakai uangmu atau uangnya Mas Khalid dulu. Nanti aku ganti. Jadi
adil, bagaimana?”
“Kalau
begitu siiip-lah Mas. Pokoknya alfu mabruk deh.” Suaranya
terdengar girang. Aku tersenyum. Ah, musim panas yang menyenangkan, meskipun
melelahkan.
Dalam segala musim,
Tuhan selalu Penyayang.
Itu yang aku rasakan.
* * *
Tepat tengah malam kami
pergi ke suthuh.52 Membawa tikar, nampan besar, empat gelas plastik, ashir mangga,
tamar hindi, dan dua bungkus firoh masywi yang masih hangat dan
sedap baunya.
Kami benar-benar
berpesta. Dua ciduk nasi hangat digelar di atas nampan. Sambal ditumpahkan.
Lalu dua ayam bakar dikeluarkan dari bungkusnya. Tak lupa acar dan lalapan
timun. Satu ayam untuk dua orang.
“Sekali-kali kita jadi
orang Mesir beneran, satu ayam untuk dua orang,” komentar Rudi.
“Kalau ini bukan makan
nasi lauk ayam. Ini makan ayam lauk nasi. Nasinya dikit sekali. Mbok ditambah
dikit,” sambung Saiful.
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
45
“Tujuannya
memang kita makan ayam bakar. Nasi pelengkap saja untuk melestarikan budaya
Indonesia. Bagi yang mau tambah nasi ambil saja sendiri. Benar nggak Mas?”
sahut Hamdi.
“Sekarang
bukan saatnya diskusi. Kalau mau diskusi besok Sabtu di Wisma Nusantara. Rudi
presentatornya. Bismillah, ayo jangan banyak cingcong langsung
kita ganyang saja!” ucapku sambil mencomot daging ayam di hadapanku. Serta
merta mereka melakukan hal yang sama. Kami makan sambil ngobrol, di belai udara
malam yang tidak dingin dan tidak panas. Semilir sejuk. Keindahan musim panas
memang pada waktu malam. Kala langit cerah. Bulan terang. Bintang-bintang
gemerlapan. Dan debu tidak berhamburan. Menikmati suasana alam di atas suthuh
apartemen sangat menyenangkan. Nun jauh di sana cahaya lampu-lampu rumah
dan gedung-gedung dekat sungai Nil tampak berkerlap-kerlip diterpa angin.
Sayup-sayup kami mendengar bunyi irama musik rakyat mengalun di kejauhan sana.
Mungkin ada yang sedang pesta. Alunan itu ditingkahi puja-puji syair sufi.
Sangat khas senandung malam di delta Nil.
Suasana nyaman ini akan
jadi kenangan tiada terlupakan. Dan kelak ketika kami sudah kembali ke Tanah
Air, kami pasti akan merindukan suasana indah malam musim panas di Mesir
seperti ini.
Usai
makan kami tidak langsung turun. Kami tetap bercengkerama ditemani semilir
angin dari sungai Nil dan satu botol air segar tamar hindi. Kami
bercerita tentang malam-malam berkesan yang pernah kami lewati. Rudi Marpaung
yang berasal dari Medan menceritakan pengalamannya menginap bersama teman-temannya
ketika masih aliyah di Brastagi. Menyewa vila dan mengadakan shalat tahajjud
bersama dalam dinginnya malam. Suasana jadi semakin asyik ketika Hamdi
mengisahkan pengalamannya yang menegangkan selama tersesat di lereng Gunung
Lawu selama dua hari.
“Kami berempat belas.
Dibagi dalam dua kelompok. Kami mencoba jalur baru. Kelompok kami istirahat
terlalu lama. Kami mengejar kelompok pertama. Sayang kurang kompak. Kami
bertiga tertinggal dan terlunta selama dua hari dalam hutan Gunung Lawu. Hanya
pertolongan dari Allah yang membuat kami tetap hidup.”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
46
Sedangkan
Saiful yang waktu SMP pernah diajak ayahnya ke Turki bercerita tentang indahnya
malam di teluk Borporus. Ia bercerita detil teluk Borporus. Lalu mengajak kami
membayangkan bagaimana Sultan Muhammad Al-Fatih merebut Konstantinopel dengan
memindahkan puluhan kapal di malam hari lewat daratan dan menjadikan kapal itu
jembatan untuk menembus benteng pertahanan Konstantinopel.
Di
tengah asyiknya bercengkerama, tiba-tiba kami mendengar suara orang ribut.
Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara jerit dan
tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami ke tepi suthuh dan
melihat ke bawah.
Benar, di gerbang
apartemen kami melihat seorang gadis diseret oleh seorang lelaki hitam dan
ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan. Gadis yang diseret itu menjerit
dan menangis. Sangat mengibakan. Gadis itu diseret sampai ke jalan.
“Jika kau tidak mau
mendengar kata-kata kami, jangan sekali-kali kau injak rumah kami. Kami bukan
keluargamu!” sengit perempuan yang menendangnya.
Kami
kenal gadis itu. Kasihan benar dia. Malang nian nasibnya. Namanya Noura. Nama
yang indah dan cantik. Namun nasibnya selama ini tak seindah nama dan paras
wajahnya. Noura masih belia. Ia baru saja naik ke tingkat akhir Ma’had Al
Azhar puteri. Sekarang sedang libur musim panas. Tahun depan jika lulus dia
baru akan kuliah. Sudah berulang kali kami melihat Noura dizhalimi oleh
keluarganya sendiri. Ia jadi bulan-bulanan kekasaran ayahnya dan dua kakaknya.
Entah kenapa ibunya tidak membelanya. Kami heran dengan apa yang kami lihat.
Dan malam ini kami melihat hal yang membuat hati miris. Noura disiksa dan
diseret tengah malam ke jalan oleh ayah dan kakak perempuannya. Untung tidak
musim dingin. Tidak bisa dibayangkan jika ini terjadi pada puncak musim dingin.
Noura sesengukan di
bawah tiang lampu merkuri. Ia duduk sambil mendekap tiang lampu itu seolah
mendekap ibunya. Apa yang kini dirasakan ibunya di dalam rumah. Tidakkah ia
melihat anaknya yang menangis tersedu dengan nada menyayat hati. Tak ada
tetangga yang keluar. Mungkin sedang lelap
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
47
tidur.
Atau sebenarnya terjaga tapi telah merasa sudah sangat bosan dengan kejadian
yang kerap berulang itu. Ayah Noura yang bernama Bahadur itu memang
keterlaluan. Bicaranya kasar dan tidak bisa menghargai orang. Seluruh tetangga
di apartemen ini dan masyarakat sekitar jarang yang mau berurusan dengan Si
Hitam Bahadur. Kulitnya memang hitam meskipun tidak sehitam orang Sudan. Hanya
kami yang mungkin masih sesekali menyapa jika berjumpa. Itu pun kami terkadang
merasa jengkel juga, sebab ketika disapa ekspresi Bahadur tetap dingin seperti
algojo kulit hitam yang berwajah batu. Sejak kami tinggal di apartemen ini
belum pernah Si Muka Dingin Bahadur tersenyum pada kami. Kalau suara tawanya
yang terbahak-bahak memang sering kami dengar.
Aku paling tidak tahan
mendengar perempuan menangis. Kuajak teman-teman turun kembali ke flat. Mereka
bertanya apa yang harus dilakukan untuk menolong Noura. Aku diam belum
menemukan jawaban. Aku masuk kamar, kubuka jendela, angin malam semilir masuk.
Noura masih terisak-isak di bawah tiang lampu. Aku dan teman-teman tidak
mungkin turun ke bawah menolong Noura. Meskipun dengan sepatah kata untuk
menghibur hatinya. Atau untuk memberitahukan padanya bahwa sebenarnya ada yang
peduli padanya. Tidak mungkin. Jika ada yang salah persepsi urusannya bisa
penjara. Apalagi Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja tanpa pertimbangan
akal sehatnya.
Aku
teringat Maria. Ia gadis yang baik hatinya. Rasa ibaku pada Noura menggerakkan
tanganku untuk mencoba mengirim sms pada Maria.
“Maria. Apa kau bangun. Kau dengar suara tangis di bawah
sana?”
Kutunggu. Lima menit.
Tak ada jawaban. Kuulangi lagi. Kutunggu lagi. Ada jawaban.
“Ya aku bangun. Aku mendengarnya. Aku lihat dari jendela
Noura memeluk tiang lampu.”
“Apa kau tidak kasihan padanya?”
“Sangat kasihan.”
“Apa kau tidak tergerak untuk menolongnya.”
“Tergerak. Tapi itu tidak mungkin.”
“Kenapa?”
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
48
“Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja.
Ayahku tidak mau berurusan dengannya.”
“Tidakkah kau bisa turun dan menyeka air matanya. Kasihan
Noura. Dia perlu seseorang yang menguatkan hatinya.”
“Itu tidak mungkin.”
“Kau lebih memungkinkan daripada kami.”
“Sangat susah kulakukan!” Maria
menolak.
“Kumohon turunlah dan usaplah air matanya. Aku paling tidak
tahan jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal
baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke tempat yang
jauh dari linangan air mata selama-lamanya.”
“Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa!”
“Kumohon, demi rasa cintamu pada Al-Masih. Kumohon!”
“Baiklah, demi cintaku pada Al-Masih akan kucoba. Tapi kau
harus tetap mengawasi dari jendelamu. Jika ada apa-apa kau harus berbuat
sesuatu.”
“Jangan kuatir. Tuhan menyertai orang yang berbuat
kebajikan.”
Benar dugaanku.
Sebenarnya banyak tetangga yang terbangun oleh teriakan-teriakan Bahadur dan
jeritan Noura. Tapi mereka tidak tahu harus berbuat apa. Pernah seorang
tetangga memanggil polisi, tapi Noura tidak mau ayahnya diperkarakan, Noura
malah mengaku dia yang salah dan ayahnya berhak marah. Mau bagaimana? Noura
sepertinya tidak mau dibela padahal apa yang dilakukan ayahnya padanya telah
melewati batas. Tuan Boutros, ayah Maria pernah menegur Si Hitam Bahadur atas
perlakuannya yang tidak baik pada anak bungsunya. Tapi apa yang terjadi?
Bahadur malah melontarkan sumpah serapah yang tidak enak didengar telinga.
Dari jendela aku
melihat Maria berjalan mendekati Maria. Ia memakai jubah biru tua. Rambutnya
yang hitam tergerai ditiup angin malam. Maria lalu duduk di samping Noura. Ia
kelihatannya berbicara pada Noura sambil mengelus-elus kepalanya. Noura masih
memeluk tiang lampu. Maria terus berusaha. Akhirnya kulihat Noura memeluk Maria
dengan tersedu-sedu. Maria memperlakukan Noura seolah adiknya sendiri. Sambil
memeluk Noura Maria menengok ke arahku. Aku menganggukkan kepala. Kulihat jam
dinding, pukul
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
49
dua empat puluh lima menit. Teman-teman sudah terlelap.
Mereka kekenyangan makan. Maria masih memeluk Noura. Cukup lama mereka
berpelukan. Maria melepaskan pelukannya. Tangan kanannya memenjet handphone-nya
dan meletakkan di telingannya.
Handphoneku
menjerit. Maria bertanya,
“Sekarang apa yang
harus kulakukan?”
“Tidak bisakah kau ajak
dia ke kamarmu?”
“Aku kuatir Bahadur
tahu.”
“Aku yakin dia sudah
terlelap. Dan biasanya akan bangun sekitar jam sepuluh pagi. Dia pekerja malam.
Tadi jam setengah dua baru pulang terus membuat keributan.”
“Baiklah akan kucoba.”
“Tunggu! Sekalian kau
bujuk Noura menceritakan apa yang sebenarnya dialaminya selama ini, agar kita
semua para tetangga yang peduli pada nasibnya bisa menolongnya dengan
bijaksana.”
“Akan kucoba.”
Sebenarnya
Maria bisa bicara langsung tanpa melalui handphone. Tapi dia harus
bersuara sedikit keras, dan itu akan mengganggu tetangga yang tidur. Maria
memang tidak seperti Mona dan Suzana, dua kakak perempuan Noura yang genit dan
keras bicaranya. Seringkali Mona atau Suzana memanggil orang di rumah mereka
dari bawah dengan suara keras. Tidak siang tidak malam. Padahal rumah mereka
hanya di lantai dua tapi suaranya seperti memanggil orang di lantai tujuh.
Kulihat Maria berhasil
membujuk Noura untuk ikut dengannya dan berjalan memasuki gerbang apartemen.
Hatiku sedikit lega. Masih ada waktu satu jam setengah sampai subuh tiba.
Kupasang beker. Aku ingin melelapkan mata sebentar saja.
* * *
AYAT AYAT CINTA Novel Pembangun Jiwa—Habiburrahman Saerozi
50
53 Roti Isy dan
Ful adalah makanan pokok orang Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar